BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam proses pendidikan di perguruan
tinggi, penulisan karya tulis ilmiah adalah salah satu kewajiban yang harus
dipenuhi oleh mahasiswa untuk menyelesaikan pendidikannya, baik dalam bentuk
skripsi (S1), tesis (S2) atau disertasi (S3). Buku ini menyadarkan kita tentang
sifat dasar hidup bermasyarakat yang dialektik. Salah satu tugas pokok
sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan adanya dialektika antara diri dengan
dunia sosio-kultural yang berlangsung dalam proses yang mengandung tiga “momen”
yaitu simultan eksternalisasi (penyesuian diri dengan dunia sosio-kultural
sebagai produk manusia), obyektifasi (interaksi sosial dalam dunia
intersubyektivikasi yang dilembagakan atau mengalami proses intitusionalisasi)
dan internalisasi (individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga
sosial atau organisasi sosial setempat individu menjadi anggotanya). Dalam wawasan
yang lebih luas, dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung
dalam ketiga momen tersebut serta masalah legitimasi yang berdimensi kognitif
dan normatif, maka kenyataan sosial tak lain adalah suatu kontruksi sosial
buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam ke masa
kini menuju masa depan.
Dalam
hal ini masyarakat merupakan produk manusia, dan manusia adalah produk
masyarakat. Bahwa manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang obyektif
melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan obyektif mempengaruhi
kembali manusia melauli proses internalisasi. Dengan ini bahwa prestasi seorang
sosiolog akan tampak pada kemampuanya membangun interpretasi obyektif atas
kejadian-kejadian yang dialami dalam masyarakat. Namun ukuran untuk menunjukkan
hasil obyektivitas tafsirannya adalah interprestasinya dapat dipahami oleh
masyarakat yang ditelitinya, sebagai acuan dari masyarakat itu sendiri telah
memiliki pengetahuan atau interpretasi tentang kehidupannya sendiri. Kemampuan
berpikir dialektis ini dimilki oleh Berger juga dimilki oleh Karl Marx serta
filsuf eksistensial yang menyadari hakikat manusia sebagai makhluk paradoksal.
Ciri dari paradoksal pada hakikat manusia itu tercermin dalam dunia
intersubyektivitasnya, yang akhirnya bisa lebih kompleks lagi.
Seperti
sudah dijelaskan di atas, baru zaman sekaranglah sifat dasar hidup
bermasyarakat yang dialektik dirumuskan dan makin disadari. Kenyataan sosial
lebih diterima sebagai kenyataan ganda daripada hanya kenyataan tunggal.
Kenyataan kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi obyektif dan
subyektif. Manusia adalah pencipta
kenyataan sosial yang subyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana
kenyataan obyektif mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi
(yang mencerminkan kenyataan subyektif). Dengan kemampuan berfikir dialektis
dimana terdapat tesa, antitesa, dan sintesa, Berger memandang masyarakat
sebagai sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat dari
berbagai implikasi dimensi kenyataan obyektif dan subyektif, maupun proses
dialektis dari berbagai obyektifikasi,internalisasi dan eksternalisasi. Dalam
sosiologi modern obyek berpusat pada gejala perubahan sosial, gejala
ketimpangan sosial atau gejala modernisasi. Dalam setiap cabang ilmu
pegetahuan, yang terpenting adalah memperoleh pengetahuan dari pengertian
(memahami) serta menerapkan pengetahuan itu pada masalah-masalah yang selalu
saja timbul, ini berlaku pada sosiologi sebagai sentral, pembahasan buku ini.
Lewat usaha menjelaskan dialektika antara manusia sendiri dengan lingkungan
sosio-kultural, Berger berhasil merumuskan dan menyadarkan kita tentang sifat
dasar hidup bermasyarakat yang dialektik.
Bila Karl Marx
berhasil menjelaskan bagaimana matter menciptakan mind
, maka Berger dan Luckmann juga meyakinkan dan menjelaskan bagaimana mind menciptakan matter. Dua-duanya
terlibat dalam usaha menyingkapkan manusia sebagai Homo Faber , manusia
tindakan dan aksi yang kini dalam kebingungan dalam memberikan makna pada hasil
karyanya sendiri.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa
dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari?
2. Dimana
masyarakat dikaitkan sebagai kenyataan yang obyektif?
3. Bagaimana
masyarakat dikaitkan sebagai kenyataan yang subyektif?
1.3. Tujuan
Dengan penulisan makalah ini kami
sebagai penulis mengharapkan pemahaman yang sederhana tetapi mendalam dalam
makalah ini. Dalam buku ini menjelaskan subyek utama dan obyek utama yaitu
manusia dimana dalam pemahaman mempuyai fungsi yang berbeda, dengan harap yang
besar bisa dipahami atas kenyataan sosial yang menjadi tidak terlepas dari
perubahan sosial yang berkelanjutan. Untuk itu pemahaman dalam mencari jawaban
dari setiap perubahan sosial yang terjadi di masa lalu,masa kini, dan masa yang
akan datang akan menjadi tolak ukur kita dalam menjalani rutinitas sehari-hari.
Banyak sekali pemahaman dalam
makalah ini yang dapat di tafsir sebagai acuan kita dalam berutinitas sebagai
wawasan untuk meminimalisir-meminimalisir kesalahan dalam bersikap dan
berperilaku. Kebiasaan manusia secara subjektif
ialah sebagai peran dari pada kenyataan sosial yang terdiri atas
pemikiran-pemikiran yang terinternalisasi dalam proses sosialisasi primer yang
mana pemikiran tersebut cenderung terinternalisasi secara kuat, akan
tetapi jika hasil sosialisasi primer
tidak kuat maka hasil dari sosialisasi tersebut akan goyah dengan terjadinya
sosialisasi sekunder.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Dasar-dasar
Pengetahuan Dalam Kehidupan Sehari-hari
2.1.1 Kenyataan hidup sehari-hari.
Di antara
aneka ragam kenyataan, terdapat satu kenyataan yang
menampilkan diri sebagai kenyataan par
excellence, itulah kenyataan hidup sehari-hari. Posisinya yang istimewa
memberi hak kepadanya untuk diberi nama kenyataan utama. Ketegangan kesadaran
mencapai tingkat paling tinggi dalam kehidupan sehari-hari; artinya, yang
disebut belakangan itu mempengaruhi kesadaran dengan cara yang masif, mendesak
dan mendalam. Keadaan ini dimana kesadaran penuh berada dalam, dan memahami,
kenyataan kehidupan sehari-hari, sebagai suatu hal yang normal dan sudah jelas
dengan sendirinya; artinya, akan membentuk sikap yang alamiah. Memahami
kenyataan hidup sebagai suatu kenyataan yang tertib dan tertata.
Fenomena-fenomena sudah tersusun sejak semula dalm pola-pola yang tampaknya tidak
tergantung pada pemahaman mengenai pemahaman itu. Kenyataan hidup sehari-hari
sudah terbentuk oleh suatu tatanan obyek-obyek yang sudah diberi nama sebagai
obyek-obyek yang terdahulu. Dimana kesadaran individu di dominasi oleh motif
yang pragmatis. Artinya perhatian individu ditentukan oleh apa yang sedang atau
apa yang hendak diakukan didalamnya.
Dengan
demikian kenyataan par excellence mengandung
wilayah-wilayah yang tidak dapat dimasuki dengan cara itu. Tetapi dalam hal ini
akan ada niat pragmatis terhadap wilayah-wilayah itu sejauh niat itu dapat
dimanipulasi. Dengan kata lain jika terjebak oleh suatu keadaan dimana prinsip
dihadapkan dengan sistematika yang tersusun secara keseragaman ada dua pilihan.
Pilihan pertama dengan mengikuti sistematika keadaan dimana prinsip akan hancur
dengan keadaan tersebut, dengan kata
lain ikut dalam kelinieran sistematika itu, disini tidak ada jaminan prinsip
itu akan menang terhadap keadaan tersebut karena sudah menyatu dengan keadaan
itu. Sedangkan pilihan kedua dihadapkan dengan keteguhan prinsip untuk melawan
keadaan tersebut dimana prinsip akan kokoh terhadap sistematika keadaan
tersebut, yang pada akhirnya akan tercipta kebenaran yang mutlak terhadapnya,
karena kelateralan suatu tindakan.
Untuk
menghadapi kenyataan kehidupan sehari-hari yang beragam dan merupakan suatu
garis besar daripada kenyataan itu sendiri memerlukan metode dan analisa yang
memadai dalam penyelsaian suatu masalah. Dalam arti bahwa dapat dijadikan titik
tolak bagi analisa sosiologis, bagi semacam prolegonema filosofis dan pada diri
sendiri untuk bersikap pra-sosiologis. Dalam hal pertimbangan-pertimbangan yang
mengacu pada pokok-pokok hal suatu problematika yang menjadi dasar disusunya
suatu metode yang tersistematis berdasarkan hal atau aspek yang telah terjadi,
kini terjadi, dan yang akan terjadi. Maka untuk menafsirkan hal tersebut di
butuhkan metode dalam menjelaskan hal-hal dasar pengetahuan dalam kehidupan
sehari-hari ialah metode analisa fenomenologis , suatu metode deskriptif
semata-mata untuk menuntut suatu ke-empirisan namun tidak ilmiah menurut
pemahaman ini mengenai hakikat-hakikat ilmu-ilmu empiris.
Analisa
fenomenologis dari kehidupan sehari-hari, atau lebih tepat dari pengalaman
subyektif di kehidupan sehari-hari, menjauhkan diri dari setiap hipotesa kasual
atau genetik, juga dari pertanyaan-pertanyaan mengenai status ontologis dari
fenomena-fenomena yang sedang dianalisa. Ini penting untuk diingat, akal sehat
mengandung banyak sekali tafsiran pra-ilmiah dan kuasi-ilmiah mengenai
kenyataan kehidupan sehari-hari. Jika ingin melukiskan kenyataan menurut akal
sehat, kita harus mengacu kepada tafsiran-tafsiran, yang seperti halnya kita
harus menjelaskan sifatnya sesuai dengan yang diterima secara fenomenologis dengan
rasional. Dalam hal ini antara fenomena dan metode harus sesuai dengan
kenyataan kehidupan sehari-hari dengan sebenar-benarnya.
Kenyataan
hidup sehari-hari diterima begitu saja sebagai kenyataan, kenyataan tidak
memerlukan vertifikasi tambahan selain kehadiran yang sederhana. Sudah jelas,
sebagai faktisitas yang memaksa dengan sendirinya. Secara tidak langsung akan
mengerti cara pemahaman luar, di luar pengetahuan kita untuk beradaptasi.
Dengan penafsiran terhadap kenyataan yang sebenarnya diperlukan suatu kewajiban
untuk memahami keadaan, kesadaran yang sebenarnya agar dapat menciptakan suatu
ruang dan waktu terhadap yang keserasian. Dunia kehidupan sehari-hari memiliki
struktur ruang dan waktu, dimana ruang merupakan dimensi sosial berkat fakta dan
waktu merupakan satu sifat intrinsik dari kesadaran. Arus kesadaran selalu
ditata oleh waktu, membedakan waktu merupakan cara intrasubyektif dalam
berkehidupan. Intrasubyektifitas dalam kehidupan sehari-hari mempunyai dimensi
waktu, bisa dipahami sebagai persilangan antara waktu kosmis dan kalendernya
yang diterapkan secara sosial berdasarkan urutan-urutan waktu alam, dan waktu
batin dalam perbedaan-perbedaannya seperti yang telah disebutkan.
Tidak akan pernah terjadi suatu keserentakan sepenuhnya
antara tingkat-tingkat waktu yang berbeda itu, seperti yang paling jelas di
tunjukkan oleh pengalaman menanti, baik organisme individu maupun masyarakat
dari peristiwa-peristiwa yang melibatkan hal menanti. Hanya dalam struktur
ruang dan waktulah di kehidupan sehari-hari memberi kekhasan kenyataan, karena
dalam hal ini sebuah fenomena bisa menjelaskan mana yang benar dan mana yang
salah dalam kenyataannya yang panjang dan selalu beubah-ubah. Demikianlah maka
dalam realita kita harus waspada di kemungkinan apa saja yang akan terjadi agar
dapat menjalani kehidupan yang lateral dengan baik dan kenyataan tidak selalu
baik dan tidak selau buruk tergantung daripada kita untuk menyikapinya.
2.1.2 Interaksi Sosial dalam
Kehidupan Sehari-hari
Kenyataan
kehidupan sehari-hari dialami bersama oleh orang lain. Tetapi bagaimana proses
itu berlangsung pada kehidupan. Dalam hal ini kemunginan untuk membedakan
antara beberapa modus pengalaman, berlangsung dalam situasi tatap muka individu
dihadapkan pada individu lain dengan tujuan sebagai pengungkap ekspresi. Tiap
ekspresi diarahkan kepadanya dan sebaliknya, tindakan-tindakan ekspresif
terjadi timbal-balik yang terus menerus itu secara serentak pada suatu
interaksi. Ini berarti situasi tatap muka, subyektifitas individu terbuka terhadap
individu lain melalui gejala-gejala yang maksimal. Dalam kondisi tatap muka
individu nyata sepenuhnya dengan kenyataan merupakan bagian dari kenyataan
hidup sehari-hari secara keseluruhan, dan karena itu masif (meyakinkan) dan
sifatnya memaksa.
Semua
keadaan akan terasa lebih daripada jelas daripada interaksinya, maka satu aspek
yang penting dari pengalaman dengan individu-individu lain dalam kehidupan
sehari-hari adalah tahap langsung atau tidak langsungnya pengalaman itu. Sudah
tentu persoalan tidak sampai disini saja, ada berbagai perbedaan yang jelas
dalam pengalaman-pengalaman individu dengan individu lain pada masa yang sama.
Pada konteks ini menjelaskan bagaimana pertukaran materi yang terjadi antara
beberapa individu terhadap interaksinya yang bermajemuk dengan tujuan untuk
menyatakan kebenaran daripada kenyataan yang terjadi. Tidak bisa dipungkiri
pada fase ini setiap individu akan sadar bahwa pentingnya suatu interaksi
terhadap kehidupan sehari-hari yang pada kenyataannya akan menuntut sebuah
keputusan yang tunggal maupun beragam dalam kaitannya dalam mencari suatu
keserasian antara interaksi dan kenyataan kehidupan sehari-hari.
Dengan
demikian maka kenyataan sosial kehidupan sehari-hari dipahamai dalam suatu
rangkaian dari berbagai tipikasi, yang menjadi semakin anonim dan semakin
jauhnya tipikasi dalam situasi tatap muka. Pada salah satu kutub rangkaian ini
terdapat abstraksi-abstraksi bagaimana individu terhadap individu lain
berinteraksi secara intensif dalam situasi tatap muka. Struktur sosial
merupakan jumlah keseluruhan daripada tipikasi-tipikasi itu serta pola
interaksi yang berulang-ulang melalui sebuah keadaan itu. Dengan ini, maka
struktur sosial merupakan suatu unsur yang esensial daripada kenyataan
kehidupan sehari-hari dan memberi pengaruh yang signifikan terhadap gaya
interaksi antar individu dalam kenyataan yang sebenarnya dari kegiatan
sosialisasi yang terarah oleh kemauan berinteraksi secara bebas dan kadang juga
memaksa untuk bersikap lebih daripada diri individu.
Satu hal
lagi yang kiranya perlu di jelaskan bahwa meskipun kami tidak membahas secara
panjang lebar. Hubungan individu dengan individu lain tidak terbatas terhadap
para pendahulu-pendahulu dan penerus-penerusnya yang telah mendahului dan
menyusul dalam sejarah masyarakat yang mencakup keseluruhannya. Dalam keadaan
ini, kenoniman daripada tipikasi itu tidak mencegahnya untuk memasuki kenyataan
hidup sehari-hari sebagai suatu unsur yang kadang dengan cara yang sangat
menentukan. Bagaimanapun reaksi terhadap interaksi akan menjelaskan bagaimana
perjuangan para ahli dalam menerangkan bagaimana fenomena-fenomena interkasi
sosial dalam kehidupan sehari-hari terhadap keadaan yang sebenarnya dalam
mencari berbagai solusi daripada problematika yang mengkaitkan dengan individunya.
2.1.3 Bahasa dan Pengetahuan dalam
Kehidupan Sehari-hari
Kemampuan
ekspresi diri manusia mampu mengadakan obyektifikasi, dengan maksud
memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik
bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia
bersama. Obyektifikasi itu merupakan isyarat-isyarat yang sedikit banyaknya
tahan lama dari proses-proses subyektif para produsennya, sehingga memungkinkan
obyektifikasi itu dapat dipakai sampai melampaui situasi tatap muka dimana
mereka dapat dipahami secara langsung. Dengan terjadi dari berbagai ekspresi
yang memungkinkan terjadinya sebuah interaksi terhadap dari
pada reaksi sebagaimana reaksi tersebut memberi aksi
dengannya. Maka suatu reaksi dari pada aksi merupakan produk manusia dan sekaligus
merupakan obyektifikasi dan subyektifitas manusia. Kenyataan kehidupan
sehari-hari tidak hanya terisi oleh obyektifikasi-obyektifikasi melainkan
fungsi dari pada subyektif yang membenarkan adanya kesulitan-kesulitan yang terjadi
dimasyarakat dengan bahasa sebagai ilmu pengetahuan yang baik dalam mencari
pelbagi solusi terhadap problematika tersebut.
Satu
masalah dalam obyektifikasi yang penting
adalah signifikasi, yaitu pembuatan simbol-simbol oleh manusia. Sebuah simbol
dapat dibedakan menjadi dari obyektifikasi-obyektifikasi lainnya, karena
tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indeks bagi
makna-makna subyektif. Memang benar bahwa semua obyektifikasi dapat digunakan
sebagai simbol, meskipun mereka semula tidak di buat untuk maksud itu. Dalam
hal ini akan tercipta suatu hubungan antara obyek dan subyek dalam tindakannya
sebagaimana dari pengetahuan berbahasa.
Bahasa bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem
daripada simbol-simbol suara, merupakan sistem simbol paling penting dalam
masyarakat manusia. Landasannya terletak dalam kapasitas intrinsik organisme
manusia untuk mengungkapkan diri dengan suara, tetapi kita baru bisa bicara
tentang bahasa apabila ekspresi-ekspresi suara sudah di konotasikan sebagai
keadaan. Meskipun ekspresi-ekspresi mempunyai sifat bahasa yang diintegrasikan
kedalam suatu sistem tanda yang terdapat secara obyektif. Pemahaman terhadap
bahasa merupakan hal yang pokokdan merupakan suatu keharusan untuk memahami
tentang kenyataan sebagaimana dalam berkehidupan sehari-hari.
Bahasa
lahir dalam situasi tatap muka, namun dengan mudah dilepaskan darinya. Hal ini
terjadi hanya karena individu melakukan rutinitas linguistik. Secara lebih
mendasar lagi terletak dalam kemampuannya menyampaikan makna yang tidak
merupakan ekspresi-ekspresi yang langsung dari subyektifitas. Dalam situasi
tatap muka, bahasa memiliki suatu sifat timbal balik yang inheren yang
membedakannya dari setiap sistem simbol lainnya. Fakta yang paradoksal itu
telah dijelaskan di muka dengan mengemukakan bahwa dalam situasi tatap muka
keberadaan individu secara masif, bersinambung dan pra reflektif, sedangkan
bagi keberadaan dan waktu yang bersamaan hadir bagi seseorang individu dan
dengan spontan memberi respons kepada keberadaan itu sendiri tanpa
“diinterupsi” oleh refleksi yang di sengaja.
Bahasa
mengacu pada kenyataan, dalam keadaan sadar sepenuhnya yang didominasi oleh motif pragmatis yang
dialami bersama individu-individu lain dengan cara yang sudah diterima begitu
saja. Meskipun bahasa juga dapat dipakai sebagai acuan pada kenyataan-kenyataan
lain, sebagai sebuah sistem simbol bahasa memiliki sifat obyektif dan memaksa
setiap individu masuk pada polannya.
Bahasa juga mentifikasi pengalaman-pengalaman dan dengan
demikian memungkinkan menggolongkannya
dalam kategori-kategori yang luas,
dengan didalamnya terjadi berbagai pengalaman itu bermakna tidak hanya bagi
setiap individu akan tetapi bagi semua yang peduli terhadap bahasa. Oleh
kemampuannya untuk mentransendensikan, bahasa menjembatani wilayah-wilayah yang
berbeda dalam kehidupan sehari-hari dan mengintregasikannya kedalam seluruh
kesatuan yang bermakna. Transdensi itu mempunyai dimensi-dimensi ruang, waktu,
dan sosial , melalui bahasa gaya bisa ditransendensikan jurang antara wilayah
manipulasi individu dengan individu lain dalam konteks gaya bahasa.
Dengan
kata-kata sederhana, melalui bahasa di seluruh dunia bisa di aktualisasikan
setiap saat. Daya transedensi dan integrasi bahasa ini tetap ada walaupun tidak
benar-benar sedang dalam berkomunikasi dengan individu lain. Melalui
obyektifitas linguistik pikiran secara keseluruhan dapat dihadirkan setiap
saat, sepanjang menyangkut hubungan sosial. Bahasa bukan hanya sesuatu yang
berkonotasi fisik akan tetapi dapat dikenang atau dikontruksikan kembalu dari
masa lampau maupun sebagaimana dikonotasikan dengan masa depan sebagai titik
transedensi. Bahasa membangun bidang-bidang semantik atau wilayah-wilayah makna
yang dibatasi secara keberadaan. Kosakata, grammatika, dan siktaksis
disesuaikan dengan organisai-organisasi bidang semantik itu. Dengan demikian
bahasa dapat membangun skema-skema klasifikasi untuk membedakan obyek-obyek,
menurut gender,menurut bilangan, dan sebagainya. Sebagaimana dengan titik tolak
tersebut bahasa disini diartikan sebagai alat untuk berkomunikasi demi
pengetahuan masyarakat dalam memenuhi kenyataan berkehidupan sosialnya.
Cadangan
pengetahuan masyarakat itu mencakup pula pengetahuan-pengetahuan tentang
situasi dan batasannya. Pengetahuan itu sudah tentu terdapat baik pada
individu-individunya. Dengan demikian dalam berpartisipasi oleh pengetahuan itu
masyarakat memungkinkan keberadaannya yang sesuai dengan kemapuan mereka. Oleh
karena itu kehidupan sehari-hari didominasi oleh motif pragmatis, maka
pengetahuan mengartikan pada kompetensi-kompetensi pada kegiatan-kegiatan yang
rutin, dalam menduduki tempat yang semestinya dalam cadangan pengetahuan
masyarakat. Cadangan pengetahuan masyarakat membeda-bedakan kenyataan menurut
tingkat keakrabanya. Disini memberikan informasi yang kompleks dan terinci
tentang sektor-sektor kehidupan sehari-hari yang sering kali dihadapi. Dengan
demikian maka pengetahuan tentang kenyataan sangatlah spesifik sebagaimana
dalam hal berelasi dengan individu lain akan menstimulan reputasi daripada
individu itu sendiri. Meskipun cadangan pengetahuan masyarakat menghadirkan
dunia sendiri dengna cara-cara yang terintegrasi, dengan diferensiasi menurut
wilayah-wilayah keakraban dan kejauhan, disini tetap membiarkan totalitas dunia
itu dalam keadaan yang transparan. Dengan kata lain kenyataan hidup sehari-hari
tampak sebagai sebuah wilayah terang, dibaliknya terdapat suatu wilayah yang
gelap. Sementara dibeberapa wilayah diterangi, dan wilayah-wilayah lain
tertutup oleh bayangannya yang pada dasarnya saling mempengaruhi satu sama lain
terhadap perbedaanya dalam mencari suatu pemahaman tentang bagaimana mencari
rencana a, b, c dan seterusnya.
Akhirnya perlu dikemukakan disini tentang satu soal
distribusi pengetahuan dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari
pengetahuan selalu menyebar terhadap masyarakat, artinya dimiliki secara
berbeda daripada setiap individu. Dalam wawasan ini kemampuan pengetahuan
masyarakat dipengaruhi oleh gaya bahasa pada kenyataannya dalam menjalin suatu
interaksi yang menciptakan suatu reaksi dalam hal pendistribusian pemahaman
mengenai dasar-dasar atas kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Distribusi
pengetahuan dalam masyarakat tentang unsur-unsur tertentu dari kenyataan
sehari-hari bisa menjadi sangat kompleks dan membingungkan dikarenakan oleh
salahnya gaya berfikir individu tersebut yang menyebabkan pengetahuan perlu
penyembuhan dalam arti perlu nasihat daripada ahlinya. Dengan demikian
pendistribusian bahasa sebagai pengetahuan daripada atas kehidupan sehari-hari
dimulai dari hal-hal yang sederhana namun mendalam.
Dan distribusi itu mencapai puncaknya dalam sistem-sistem
keahlian yang sangat kompleks dan isoteris. Pengetahuan mengenai bagaimana
cadangan pengetahuan yang tersedia didalam masyarakat itu didistribusikan
setidaknya pada garis besarnya, merupakan suatu unsur terpenting dari cadangan
pengetahuan itu pula.
2.2. Masyarakat Sebagai Kenyataan Objektif
2.2.1 Pelembagaan Organisme dan Aktivitas
hubungan
manusia dengan lingkungannya bercirikan keterbukaan dunia. Tidak saja manusia
telah berhasil untuk menghuni bagian terbesar dari muka bumi ini, tetapi juga
hubungannya dengan lingkungan sekitar dimana-mana distrukturkan dengan cara
yang sangat tidak sempurna oleh konstitusi biologisnya sendiri. Memang benar
bahwa hal itu memungkinkan manusia untuk melakukan berbagai jenis kegiatan.
Tetapi fakta bahwa disatu tempat ia terus hidup mengembara dan ditempat lainnya
ia sudah beralih ke pertanian, tidak dapat dijelaskan dari segi proses-proses
biologis. Sudah tentu, ini tidak berarti bahwa tidak ada pembatasan-pembatasan
yang di tentukan secara biologis dalam hal hubungan manusia dengan
lingkungannya ; perlengkapan indrawi dan pendorongnya yang spesifik menurut
jenisnya jelas membatasi lingkup kemungkinan-kemungkinannya. Keistimewaan
konstitusi biologis manusia lebih terletak dalam komponen nalurinya.
Organisasi
naluri manusia bisa dilukiskan sebagai kurang berkembang jika dibandingkan
dengan binatang menyusui setingkat lainnya. Sudah tentu manusia mempunyai
dorongan-dorongan naluri. Tetapi dorongan-dorongan itu sangat tidak tidak
terspesialisasi dan tidak terarah. Ini berarti bahwa organisme manusia dapat
menggunakan perlengkapannya yang sudah di tetapkan oleh susunannya itu untuk
banyak sekali macam kegiatan yang, disamping itu, terus menerus dapat berubah
dan bervariasi. Kekhususan organisme manusia itu berakar dalam perkembangan
ontogenetisnya. Sesungguhnya jika kita memandang persoalan dari segi
perkembangan organismis, maka dapat kita katakan bahwa periode Foetal (janin) pada manusia berlangsung
terus sampai dengan sekitar tahun pertama sesudah kelahiran.
Perkembangan-perkembangan organismis yang penting, yang pada binatang mencapai
penyelesaiannya dalam Rahim sang induk, pada bayi manusia berlangsung setelah
ia keluar dari kandungan. Tetapi pada masa ini bayi manusia itu tidak hanya
sudah berada di dalam dunia luar; ia juga mempunyai hubungan timbal balik
dengannya, dengan sejumlah cara yang kompleks.
Dengan
demikian, maka organisme manusia secara biologis masih terus berkembang
sementara ia sudah berhubungan dengan lingkungannya. Dengan kata lain proses
menjadi manusia berlangsung dalam hubungan timbal balik dengan suatu
lingkungan. Pernyataan ini semakin penting artinya jika merenungkan bahwa lingkungan
ini merupakan lingkungan alam dan lingkungan manusia. Artinya, manusia yang
sedang berkembang itu tidak hanya berhubungan secara timbal balik dengan suatu
lingkungan alam tertentu, tetapi dengan suatu tatanan budaya dan social yang
spesifik, yang dihubungkan dengannya melalui perantara orang-orang berpengaruh
(significant others) yang merawatnya.
Tidak saja kelangsungan hidup bayi manusia itu tergantung kepada
pengaturan-pengaturan social tertentu, tetapi, juga arah perkembangan
organismisnya ditentukan secara social. Dari saat kelahirannya perkembangan
organismis manusia, dan sesungguhnya sebagian besar dari keberadaan biologisnya itu sendiri, terus menerus mengalami
campur tangan yang ditentukan secara social.
Perkembangan
bersama dari organisme manusia dan diri manusia dalam lingkungan yang
ditentukan, secara social berkaitan dengan hubungan yang khas manusiawi antara
organisme dan diri. Hubungan ini merupakan hubungan eksentris. Disatu pihak,
manusia adalah badan, sebagaimana dapat dikatakan pula mengenai suatu organisme
hewan lainnya. Di pihak lain, manusia punya badan. Artinya pula manusia
mengalami dirinya sendiri sebagai suatu entitas yang identik dengan badannya,
tetapi sebaliknya, yang memiliki badan itu yang dapat dipergunakannya. Dengan kata
lain pengalaman manusia mengenai diri sendiri selalu mengambang dalam
keseimbangan antara keberadaannya sebagai badan dan mempunyai badan, suatu
keseimbangan yang harus diperbaiki berulang-ulang. Keeksentrisan pengalaman
manusia mengenai badannya sendiri itu mempunyai konsekuen-konsekuen tertentu
bagi analisa aktifitas manusia sebagai perilaku dalam lingkungan material, dan
sebagai eksternalisasi makna-makna subjektif. Untuk dapat memahami secara
memadai setiap fenomena manusiawi, kita harus mempertimbangkan kedua aspek itu,
dengan alasan-alasan yang berakar dalam fakta-fakta antropologis yang mendasar.
Asal
mula pelembagaan
Semula
kegiatan manusia bisa mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Tiap
tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang
kemudian bisa direproduksi dengan upaya sekecil mungkin dan yang, karena itu,
dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pembiasaan
selanjutnya berarti bahwa tindakan yang bersangkutan bisa dilakukan kembali
dimasa mendatang dengan cara yang sama dan dengan upaya yang sama ekonomisnya,
ini berlaku bagi aktifitas social maupun yang social. Individu yang menyendiri
sekalipun yang diumpamakan hidup di sebuah pulau yang tidak berpenduduk, akan
membiasakan kegiatan-kegiatannya apabila ia bangun pada pagi hari dan
meneruskan usahanya untuk membuat sebuah perahu dari batang-batang korek api,
ia mungkin akan bergumam pada dirinya sendiri “aku mulai lagi sekarang” sementara ia memulai dengan langkah pertama
dari suatu prosedur kerja yang dari, katakanlah, sepuluh langkah. Dengan kata
lain, manusia yang menyendiri sekalipun setidaknya di temani oleh
prosedur-prosedur kerjanya.
Pelembagaan
terjadi apabila ada suatu tipifikasi yang timbal balik dari tindakan-tindakan
yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan kata lain tiap tipifikasi
seperti itu merupakan satu lembaga. Hal
yang harus ditekankan adalah sifat timbal balik (resiprositas) dari tipifikasi
kelembagaan dan tipikalitas tidak hanya tindakan-tindakan, melainkan juga dari
pelaku-pelakunya dalam lembaga-lembaga. Tipifikasi tindakan-tindakan yang sudah
dijadikan kebiasaan, yang membentuk lembaga-lembaga, selalu merupakan milik
bersama. Tipifikas-tipifikasi itu tersedia bagi semua anggota kelompok social
tertentu yang bersangkutan, dan lembaga-lembaga itu sendiri mentipifikasi
pelaku-pelaku individual maupun tindakan-tindakannya. Lembaga-lembaga itu
mengandaikan bahwa tindakan-tindakan dari tipe X akan dilakukan oleh
pelaku-pelau tipe X. umpamanya lembaga hokum mengandaikan bahwa kepala orang
akan dipenggal dengan cara yang spesifik dalam keadaan-keaaan yang spesifik,
dan bahwa tipe-tipe individu yang spesifik harus melakukan pemenggalan kepala
itu (katakanlah, algojo, atau anggota sebuah kasta yang dianggap rendah,atau gadis-gadis
dibwah umur tertentu, atau mereka yang sudah ditentukan suatu orake).
Pengendapan
dan Tradisi
Hanya
sebagian kecil saja dari keseluruhan pengalaman manusia tersimpan terus dalam
kesadaran. Pengalaman-pengalaman yang tersimpan terus itu lalu mengendap;
artinya, menggumpal dalam ingatan sebagai entitas yang bisa dikenal dan diingat
kembali. Tanpa terjadinya pengendapan itu individu tidak dapat memahami –
biografinya. Pengendapan intersubjektif juga terjadi apabila beberapa individu
mengalami suatu biografi bersama, dimana pengalaman-pengalamannya lalu menjadi
bagian dari suatu cadangan pengetahuan bersama. Pengendapan inter subjektif itu
hanya benar-benar dinamakan social apabila ia sudah di obyektivasi dalam suatau
system tanda; artinya, apabila ada kemungkinan bagi berulangnya obyektivikasi
pengalaman-pengalaman bersama itu. Baru sesudah itu ada kemungkinan bagi
pengalaman-pengalaman itu untuk dialihkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya, dari satu kolektivitas ke kolektivitas lain. Secara teoristis ,
kegiatan bersama tanpa suatu system tanda, dapat merupakan dasar bagi
pengalihan itu. Akan tetapi secara empiris hal itu tidak mungkin terjadi suatu
system tanda, yang tersedia secara obyektif memberikan status anonim pada
tingkat permulaan kepada pengalaman-pengalaman yang sudah diendapkan dengan
jalan melepaskannya dari konteks boigrafi individual konkretnya yang semula,
dan menjadikannya tersedia secara umum bagi semua orang yang sama-sama
menganut, atau mungkin akan menganut system tanda yang bersangkutan. Dengan
demikian pengalaman-pengalaman menjadi mudah dialihkan.
Pada
prinsipnya, sistem tanda yang bagaimanapun sudah cukup untuk tujuan itu. Namun
biasanya, dengan sendirinya, sistem tanda yang menentukan adalah yang bersifat
linguistic. Bahasa mengobyektivikasi pengalaman-pengalaman bersama dan
menjadikannya tersedia bagi semua orang di dalam komunitas bahasa itu, dan
dengan demikian menjadi dasar dan alat bagi cadanganpengetahuan kolektif.
Selanjutnya, bahasa memberikan cara-cara untuk mengobyektivikasi
pengalaman-pengalaman baru. Memungkinkan pemasukannya ke dalam cadangan
pengetahuan yang sudah ada, dan ia menjadi alat yang paling penting untuk
meneruskan endapan-endapan yang sudah diobyektivikasi dan diobyektivikasi dalam
tradisi kolektivitas bersangkutan.
Peranan
Peranan
merepresentasikan tatanan kelembagaan. Representasi ini berlangsung pada dua
tingkat. Pertama, pelaksanaan peranan merepresentasikan dirinya sendiri.
Contohnya menghakimi adalah representasi peranan hakim. Individu yang
menghakimi tidak bertindak “atas nama dirinya sendiri” melainkan sebagai hakim.
Kedua, peranan merepresentasikan suatu keseluruhan rangkaian perilaku yang
melembaga. Peranan hakim berkaitan dengan peranan-peranan lain, yang
keseluruhannya mencakup lembaga hukum. Hakim bertindak sebagai wakil lembaga
ini. Hanya melalui representasi dalam pelaksanaan peran itu maka lembaga dapat
memanifestasikan diri dalam pengalaman yang sebenarnya. Lembaga, dengan
rangkaian tindakan-tindakannya yang sudah di programkan, adalah bagaikan
“libretto” suatu drama yang belum ditulis. Perwujudan drama ini tergantung
kepada dimainkannya secara berulang-ulang peranan-peranan yang sudah ditetapkan
oleh para pelaku yang ada. Para pelaku itu mewujudkanperanan-peranan tersebut
dan mengaktualisasikan drama dengan merepresentasikannya di atas panggung yang
sudah ditentukan. Baik drama maupun lembaga secara empiris tidak terlepas dari
pelaksanaannya yang berulang itu. Maka, mengatakan bahwa peranan
merepresentasikan lembaga-lembaga sama dengan mengatakan bahwa peranan
memungkinkan lembaga-lembaga sama dengan mengatakan bahwa peranan memungkinkan
lembaga-lembaga mengada, secara terus menerus, sebagai suatu kehadiran yang
nyata dalam pengalaman individu-individu yang hidup.
Analisa
peranan terutama penting bagi sosiologi pengetahuan karena ia menyingkapkan
perantaraan (mediasi) antara universum makna makroskopik yang diobyektivikasi
dalam suatu masyarakat dan cara-cara yang dengannya universum-universum itu
menjadi nyata secara subyektif bagi individu-individu. Dengan demikian, maka
kita dapat, umpamanya, menganalisa akar-akar social yang makroskopik dari suatu
pandangan dunia yang religious dalam kolektivitas-kolektivitas tertentu. Dan
juga menganalisa caranya pandangan dunia ini dimanifestasikan dalam kesadaran
individu.
Kedua
analisa itu hanya dapat di persatukan jika kita menyelidiki cara-cara dengan
mana individu – dalam keseluruhan kegiatan sosialnya – berhubungan dengan
kolektifitas yang bersangkutan. Dengan sendirinya, penyelidikan seperti itu
akan merupakan analisa tentang peran.
Lingkup
dan Cara-cara Pelembagaan
Secara
formal, lingkup pelembagaan tergantung kepada sifat umum dari struktur-struktur
relevansinya. Jika banyak, atau bagian terbesar, dari struktur-struktur
relevansi dalam suatu masyarakat secara umum dimiliki bersama, maka lingkup
pelembagaannya akan luas. Jika hanya sedikit saja struktur relevensi yang
dimiliki bersama, maka lingkup pelembagaannya akan sempit. Dalam hal yang
disebut belakangan itu ada kemungkinan lebih lanjut bahwa tatanan
kelembagaannya akan sangat terpecah-pecah (terfragmentasi), dimana
struktur-struktur relevensi tertentu dimiliki oleh golongan-golongan tertentu
dalam masyarakat tetapi tidak oleh masyarakat itu secara keseluruhan.
Peanan-peranan
bisa direifikasi dengan cara yang sama seperti lembaga-lembaga. Sektor
kesadaran diri yang telah diobyektivikasi dulu dalam peranan lalu juga dipahami
sebagai takdir yang tak terelakan lagi, dan individu bisa mengatakan tidak
bertanggung jawab atasnya.
2.2.2 Legitimasi
Asal
Mula Universum-universum Simbolis
Legitimasi
sebagai proses, paling tepat dilukiskan sebagai suatu obyektivikasi makna
“tingkat kedua”. Legitimasi menghasilkan makna-makna baru yang berfungsi untuk
mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses
kelembaggaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat
obyektivikasi “tingkat pertama” yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara
obyektiv dan masuk akal secara subyektif. Sedangkan kami mendefinisikan
legitimasi dari segi fungsi ini, tanpa memandang motif-motif khusus yang
mengilhami tiap proses legitimasi tertentu, perlu ditambahkan bahwa “integrasi”
dalam salah satu bentuknya juga merupakan tujuan khas yang memotivasi orang
yang melakukan legitimasi itu.
Universum
simbolis dipahami sebagai matrik dan semua makna yang diobyektivikasi secara
sosila dan yang nyata secara subyektif. Keseluruhan masyarakat historis dan
keseluruhan biografi individu dilihat sebagai peristiwa-peristiwa yang
berlangsung didalam universum ini.yang terutama penting adalah bahwa
situasi-situasi marjinal dalam kehidupan individu juga tercakup oleh universum
simbolis itu. Universum simbolis memungkinkan penataan pemahaman subyektif itu
dari pengalaman biografis.
Asal
usul universum simbolis berakar dalam konstitusi manusia. Apabila manusia dalam
masyarakat merupakan pembangun dunia, maka hal itu dimungkinkan oleh ketrbukaan
dunianya yang sudah diberikan oleh konstitusinya, yang sudah mengandung arti
adanya konflik antara ketertiban dan khaos.
Peralatan
Konseptual untuk Memelihara Universum
Peralatan-peralatan
konseptual yang memelihara universum simbolis selalu memerlukan sistematisasi
legitimasi kognitif dan normative, yang sudah terdapat dalam masyarakat pada
tingkat yang lebih naiff, dan yang diwujudkan dalam universum simbolis yang
bersangkutan. Dengan kata lain yang diperlukan untuk membangun legitimasi
pemeliharaan universum,dalam banyak hal, merupakan pemekaran yang lebih lanjut,
pada tingkat integrasi teoretis yang lebih tinggi, dari berbagai legitimasi
berbagai lembaga.
Organisai
Sosial untuk Memelihara Universum
Karena
merupakan produk historis dari kegiatan manusia, maka semua universum yang
dibangun secara social itu berubah, dan perubahan itu ditimbulkan oleh
tindakan-tindakan konkret manusia. Jika kitatenggelam dalam segala seluk beluk
mengenai peralatan konseptual yang digunakan untuk memelihara tiap universum
tertentu, kita bisa lupa akan fakta sosiologis yang mendasar ini. Kenyataan
ditentukan atau didefinisikan secara social. Akan tetapidefinisi-definisi itu
selamanya diwujudkan, artinya individu-individu dan kelompok individu yang
konkret bertindak sebagai pembuat definisi tentang kenyataan. Untuk dapat
memahami keadaan universum yang dibangun secara social itu pada setiap saat
tertentu, atau perubahannya dalam perjalanan waktu, kita harus memahami organisasi
social yang telah memungkinkan para pembuat definisi tentang kenyataan.
2.3 Masyarakat
Sebagai Kenyataan Subjektif
2.3.1 Internalisasi Kenyataan
Sosialisasi
Primer
Individu
tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat. Ia di lahirkan dengan suatu kecenderungan
ke arah sosialitas, dan ia menjadi anggota masyarakat. Titik awal proses dari
proses ini adalah internalisasi yaitu pemahaman atau penafsiran yang
berlangsung dari suatu suatu peristiwa objektif sebagai suatu pengungkapan
makna; artinya, sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subyektif orang lain yang dengan demikian menjadi
bermakna secara subyektif bagi dirinya sendiri.Sosialisasi primer adalah
sosialisasi yang pertama yang di alami individu dalam masa kanak-kanak, yang
dengan itu ia menjadi anggota masyarakat. Sosialisasi sekunder adalah setiap
proses berikutnya yang mengimbas individu yang sudah di sosialisasikan itu
kedalam sektor-sektor baru dunia obyektif masyarakatnya.Sosialisasi primer
biasanya merupakan sosialisasi yang paling penting bagi individu, dan bahwa
struktur dasar dari semua sosialisasi sekunder harus mempunyai kemiripan dengan
stuktur dasar sosialisasi primer. Tiap individu dilahirkan kedalam suatu
struktur sosial yang obyektif dimana ia menjumpai orang-orang yang berpengaruh
dan yangbertugas mensosiosialisasikannya.
Sosialasi primer menciptakan di
dalam kesadaran anak suatu abstraksi yang smakin tinggi dari peranan-peranan
dan sikap orang orang-orang lain tertentu ke peranan-peranan dan sikap-sikap
pada umumnya.Isi-isi khusus yang diinteralisasi dalam sosialisasi primer
berbeda dari masyarakat ke masyarakat, tetapi ada juga yang sama. Yang
pertama-tama harus di internalisasi adalah bahasa. Dengan bahasa dan dengan
perantaranya, berbagai skema motivasi dan interpretasi di internalisasi sebagai
sudah didefinisikan secara kelembagaan. Dalam sosialisasi primerlah, dunia
pertama individu terbentuk. Kekukuhannya yang khas dapat dijelaskan, setidaknya
untuk sebagian oleh hubungan individualnya yang tak terelakkan denganoang-orang
yang pertama sekali mempengaruhinya. Sifat sosialisasi primer di pengaruhi oleh
berbagai persyaratan dalam pengalihan cadangan pengetahuan, selain itu tuntutan-tuntutan tatanan kelembagaan secara
keseluruhan juga mempengaruhi sosialisasi primer.
Sosialisasi primer berakhir apabila
konsep tentang orang lain pada umumnya dan segala sesuatu yang
menyertainyatelah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran individu. Pada titik
ini sudah merupakan anggota efektif masyarakat dan secara subjektif memiliki
suatu diri dan sebuah dunia.Tetapi internalisasi masyarakat, identitas dan
kenyataan ini tidak dapat terjadi sekali dan langsung selelsai secara tuntas.
Sosialisasi tidak pernah totl dan tak pernah selesai. Ini menghadapkan kita
pada dua masalah yakni bagaimana kenyataan yang sudah ada diinternalisasi dalam
sosialisasi primer itu di pertahankan dalam kesadaran dan bagaimana
internalisasi-internalisasi berikutnya atau sosialisai sekunder dari individu
berlangsung.
Sosialisasi Sekunder-Sosialisasi Sekunder
Sosialisasi sekunder adalah
internalisasi sejumlah “subdunia” kelembagaan atau yang berlandaskan lembaga.
Karena itu, lingkup jangkauan dan sifatnya ditentukan oleh kompleksitas
pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya.
Sifat sosialisasi sekunder tergantung kepada status perangkat pengetahuan yang
bersangkutan di dalam universum simbolis secara secara keseluruhan.
Proses-proses formal dalam sosialisasi sekunder di tentukan oleh masalah dasarnya yaitu selalu
mengandaikan suatu proses sosialisai primer yang mendahuluinya, artinya ia
berurusan dengan suatu diri yang sudah terbentuk dan suatu dunia yang sudah di
internalisasi. ia tidak bisa membangun kenyataan subyektif ex nihilo. Itu
merupakan satu masalah, karena kenyataan yang sudah di internalisasi mempunyai
kecenderungan untuk bertahan terus. Karena itu ada masalah konsistensi antara
internalisasi yang pertama dan internalisasi yang baru.
Dalam
sosialisasi sekunder, keterbatasan biologis semakin kurang penting bagi
tahap-tahap belajar, yang sekarang di tentutukan menurut sifat-sifat intrinsik
dari pengetahuan yang hendak di peroleh. Pada sosialisai sekunder tidak
memerlukan identifikasi yang bermuatan emosi di pihak anak dengan para
pengasuhnya dan bisa erlangsung secara efektif dengan hanya identifikasi
timbal-balik sebanyak yang masuk dalam tiap komunikasi antar manusia.
Sosialisasi dalam kehidupan selanjutnya
secara tipikal baru akan bersifat emosional yang mengingtkan kepada masa
kanak-kanak, apabila ia berusaha untuk secara radikal mentransformasikan
kenyataan subyektif individu. Formalitas dan anonimitas berkaitan dengan sifat
afektif hubungan sosial dalam sosialisai sekuner. Tetapi konsekuensi yang
paling penting adalah bahwa mereka memberikan
kepada isi dari apa yang dipelajari dalam sosialisasi sekunder suatu sifat
ketidakterelakan subyektif yang jauh lebih lemah dibandingkan dengan apa yang
terdapat pada isi sosialisasi primer.
Kenyataan bahwa proses-prose
sosialisasi sekunder tidak mengandaikan suatu tingkat identifikasi yang dan
bahwa isinya tidak memiliki sifat ketidakterelakan dapat berguna dari segi
pragmatis, karena hal itu memungkinkan tehap-tahap belajar yang rasional dan
terkendali dari segi emosi. Tetapi karena isi internalisasi jenis ini mempunyai
kenyataan subyektif yng rapuh dan tidak dapat di andalkan jika di bandingkan
dengan internalisasi sosialisasi primer, maka dalam beberapa kasus harus
dikembangkan teknik-teknik khusus untuk menghasilkan identifikasi dan
ketidakterlekan yang di anggap perlu. Kebutuhan akan teknik-teknik semacam itu
mungkin bersifat intrinsik dari segi mempelajari dan menerapkan isi
internalisasi, atau mungkin pula di tentukan demi kepentinagn mapan dari
personel yang mengelola proses sosialisasi yang bersangkutan.
Teknik-teknik yang digunakan dalam
suatukasus dimaksudkan untuk mengintensifkan muatan aktif dari proses
sosialisasi. Secara khas,tknik-teknik itu melibatkan pelembagaan suatu proses
inisisasi yang rumit, suatu masa percobaan di mana individu pada akhirnya
mengikat diri sepenuhnya kepada kenyataan yang sedang diinternalisasi.
Distribusi tugas-tgas yang sudah di
lembagakan antara sosialisai primer dan sosialisasi sekunder bervariasi menurut
kompleksitas distribusi pengetahuan dalam masyarakat. Selama ia relatif tidak
rumit, badan kelembagaan yang sama dapat melaksanakan sosialisasi mulai dari
yang primer hingga ke tahap sekunder sampai ke tingkat yang tinggi. Apabila
distribusi itu sudah sangat komplek, mungkin perlu di kembangkan badan-badan
khusus untuk sosialisasi sekunder.
Memelihara
dan Mentransformasikan Kenyataan Subyektif
Fokus
dalam pembahasan ini adalah kepada soal memelihara kenyataan subyektif dan
bukan obyektif; kenyataan sebgaimana yang dipahai dalam kesadaran individu dan
bukan kenyataan sebagaimana yang di
tentutukan secara kelembagaan.
Sifat sosialisasi sekunder yang
lebih “artifisial” menyebabkan kenyataan subyektif dari internalisasinya lebih
terbuka lagi terhadap definisi-definisi
tndingan tentang kenyataan, sehingga kenyataan yang tidak begitu kukuh
berakar dalam kesadaran akan lebih mudah tergeser. Tetapi dalam kehidupan
sehari-hari kita dapat memepertahankan diri karena sudah terkandung dalam
kegiatan-kegiatan rutin , yang merupakan inti pelembagan. Selain itu, kenyataan
hidup sehri-hari secara terus-menerus diperkuat kembali dalam interaksi
individu dengan orang lain.
Orang-orang yang berpengaruh dalam
kehidupan individu merupakan agen-agen utama untuk mempertahankan kenyataan
subyektifnya. Orang-orang lain yang tidak begitu berpengaruh berfungsi sebagai
semacam pengiring. Hubungan antara orang-orang yang berpengaruh dan “koor
pengiring” dalam pemeliharaan kenyataan merupakan hubungan dialektik. Artinya
mereka berinteraksi satu sama lain dan juga dengan kenyataan subyektif yang
mereka konfirmasikan. rti penting yang relatif dari orang-orang yang
berpengaruh itu serta “koor pengiring” bisa dilihat dengan cara yang paling
mudah jika kita memperhatikan kasus-kasus dis-konfirmasi
kenyataan subyektif. Wahana yang paling penting untuk memelihara kenyataan
adalah percakapan. Kita bisa memandang kehidupan sehari-hari individu sebagai
suatu alat percakapan yang bekerja giat untuk secara terus-menerus
memelihara,memodifikasi, dan membangun kembali kenyataan subyektifitasnya.
Potensi percakapan untuk melahirkan
kenyataan ini sudah diberikan dalam fakta obyektifitas linguitik. Kita melihat
bagaimana bahasa mengobyektifikasi dunia, mentransformasikan panta rhei pengalaman menjadi suatu
tatanan yang kohesif. Dalam menciptakan tatanan ini, bahasa
mewujud-nyatakan suatu dunia, dalam arti
ganda memahami dan memproduksinya. Percakapan adalah aktualisasi keefektifan bahasa untuk
perwujuduan ini dalam situasi tatap muka dalam eksistensi individu. Dalam
percakapan, obyejtifitas bahasa menjadi obyek kesadaran individu. Dengan demikian
maka fakta yang mendasar dari pemeliharaan-kenyataan itu adalah penggunaan
bahasa yang sama secara terus-menerus untuk mengobyektifikasi pengalaman
biografis yang sedang berkembang.
2.3.2 Internalisasi dan Stuktur Sosial
Sosialisasi selalu belangsung dalam
konteks struktur sosial tertentu. Tidak hanya isinya, tetapi juga tingkat
keberhasilannya, mempuyai kondisi sosial-struktural dan konsekuensi
sosial-struktural.
Situasi yang mengarah pada kegagalan
sosialisasi timbul apabila terdapat pertentangan antara sosialisasi primer dan
sosialisasi sekunder. Kesatuan sosialisasi primer dipertahankan, tetepi dalam
sosialisasi sekunder tampil kenyataan-kenyataan dan identitas-identits
alternatif sebagai pilihan subyektif. Pilihan itu, dengan sendirinya dibatasi
oleh konteks sosial-struktural individu bersangkutan. Konsekuensi lainnya yang
sangat penting apabila terdapat pertentangan antara sosialisasi primer dan
sosialisasi sekunder adalah kemungkinan
bahwa individu sudah mempunyai hubungan dengan dunia-dunia yang saling
bertentangan dan yang secara kualitatif berbeda dengan hubungan-hubungan dalam
situasi –situasi yang telah di bahas sebelumnya. Jika dunia-dunia yang saling
bertentangan muncul dalam sosialisasi primer, individu mempunyai pilihan untuk
mengidentifikasikan dirinya dengan salah satu diantaranya dan menolak yang
lain-lainnya karena terjadi dalam sosialisasi primer, dari segi afektif akan
bermuatan sangat tinggi. Identifiksi dan penyelingan, semuanya akan disertai
krisis-krisis afektif, karena proses-proses itu akan selalu tergantung pada
pengantaran pengasuh-pengasuh.
Penampilan dunia-dunia yang saling
bertentangan dalam sosialaisasi sekunder menghasilkan konfigurasi yang berbeda
sama sekali. Dalam sosialisasi sekunder, internalisasi tidak perlu disertai
pengindifikasian yang bermuatan afektif dengan pengasuh-pengasuh individu bisa
menginteralisasikan kenyataan-kenyataan yang berbeda tanpa mengdentifikasikan
diri dengan para pengasuh. Karena itu, apabila suatu dunia-alternatif muncul
dalam sosialisasi sekunder, individu akan memilihnya dengan cara yang
menipulatif. Individu menginternalisasikan kenyataan yang baru itu, tetapi
bukan sebagai kenyataan-kenyataannya, melainkan sebagai suatu kenyataan yang
bisa digunakan untuk tujun-tujuan khusus.
Hal yang perlu di tekankan, situasi
seperti itu tidak bisa dipahami kecuali dengan jalan menghubungkannya secara
terus-menerus dengan konteks sosial-strukturalnya, yangsecara logis bergerak
dari hubungan yang perlu antara pembagian kerja secara sosial dan distribusi
pengetahuan secara sosial.
2.3.3 Teori-Teori Identitas
Identitas, dengan sendirinya
merupakan satu unsur knci dari kenyataan subyektif dan sebagaimana semua
kenyataan subyektif, berhubungan secara dialektif dengan masyarakat.Identitas
dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh wujudnya, ia dipelihara,
dimodifiasi, atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial.
Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan identitas
ditentukan oleh struktur sosial.Sebaliknya, identitas-identitas yang dihasilkan
oleh interaksi antara organisme, kesadaran individu,dan stukrtur sosial
bereaksi terahadap struktur sosial yang sudah diberikan, memeiharanya,
emodifikasinya atau malah membentuknya kembali. Masyarakat mempunyai sejarah
dan di dalam perjalanan sejarah itu muncul identita- identitas khusus, tetapi
sejarah-sejarah tu di buat oleh manusia dengan identitas-identitas tertentu.
Identitas merupakan suatu fenomena
yang timbul dari dialektika antara individu dan masyarakat. Sebaliknya,
tipe-tipe identitas merupakan produk-produk sosial semata-mata, unsur-unsur
yang relatif stabil dari kenyataan sosial obyektif. Dengan demikian, tipe-tipe
identitas itu merupakan pokok dari suatu bentuk kegiatan berteori dalam tiap
masyarakat, sekalipun tipe-tipe itu stabil, dan pembetukan identitas-identitas
individu relatif tidak menimbulkan masalah.
2.3.4 Organisme dan Identitas
Organisme terus mempengaruhi tiap
tahap kegiatan manusia untuk membentuk kenyataan dan bahwa organisme itu, pada
gilirannya, juga di pengaruhi oleh kegiatan itu. Kasarnya, animality manusia di
transformasikan dalam sosialisasi, tetapi tidak di tiadakan sama sekali.
Kenyataan sosial menetukan tidak
hanya kegiatan dan kesadaran, tetapi-sampai tingkat cukup jauh-jugaberfungsinya
organisme. Dalam siri individu yang sudah disosialiasikan sepenuhmya terdapat
dialektika batin yang berlangsung terus-menerus antara identitas dan substratum
biologisnya. Individu terus mengalami dirinya sebagai suatu organisme, terlepas
dari, dan kadang-kadang berlawanan dengan, obyektifikasi-obyektifikasi tentang
dirinya yang di peroleh secara sosial.
Dari sgi biologis, manusia sudah di
takdirkan untuk membentuk dan menghuni suatu dunia bersama-sama dengan
manusia-manusi lainnya. Dunia ini baginya menjadi kenyataan yang dominan dan
yang diberi batasan. Batas-batasnya di tentuak oleh alam, tetapi begitu sudah
dibangun, dunia ini berbalik memengaruhi alam. Dalam dialektika antara alam dan
dunia yang dibangun secara sosial itu organisme manusia sendiri
ditransformasikan. Dalam dialektika yang sama, manusia menciptakan kenyataan
dan denagan itu menciptakan dirinya sendiri.
No comments:
Post a Comment