Monday, November 24, 2014

Makalah Tafsir Sosial Atas Kenyataan (Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.      Latar Belakang
            Dalam proses pendidikan di perguruan tinggi, penulisan karya tulis ilmiah adalah salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh mahasiswa untuk menyelesaikan pendidikannya, baik dalam bentuk skripsi (S1), tesis (S2) atau disertasi (S3). Buku ini menyadarkan kita tentang sifat dasar hidup bermasyarakat yang dialektik. Salah satu tugas pokok sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan adanya dialektika antara diri dengan dunia sosio-kultural yang berlangsung dalam proses yang mengandung tiga “momen” yaitu simultan eksternalisasi (penyesuian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia), obyektifasi (interaksi sosial dalam dunia intersubyektivikasi yang dilembagakan atau mengalami proses intitusionalisasi) dan internalisasi (individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial setempat individu menjadi anggotanya). Dalam wawasan yang lebih luas, dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam ketiga momen tersebut serta masalah legitimasi yang berdimensi kognitif dan normatif, maka kenyataan sosial tak lain adalah suatu kontruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam ke masa kini menuju masa depan.
Dalam hal ini masyarakat merupakan produk manusia, dan manusia adalah produk masyarakat. Bahwa manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan obyektif mempengaruhi kembali manusia melauli proses internalisasi. Dengan ini bahwa prestasi seorang sosiolog akan tampak pada kemampuanya membangun interpretasi obyektif atas kejadian-kejadian yang dialami dalam masyarakat. Namun ukuran untuk menunjukkan hasil obyektivitas tafsirannya adalah interprestasinya dapat dipahami oleh masyarakat yang ditelitinya, sebagai acuan dari masyarakat itu sendiri telah memiliki pengetahuan atau interpretasi tentang kehidupannya sendiri. Kemampuan berpikir dialektis ini dimilki oleh Berger juga dimilki oleh Karl Marx serta filsuf eksistensial yang menyadari hakikat manusia sebagai makhluk paradoksal. Ciri dari paradoksal pada hakikat manusia itu tercermin dalam dunia intersubyektivitasnya, yang akhirnya bisa lebih kompleks lagi.
Seperti sudah dijelaskan di atas, baru zaman sekaranglah sifat dasar hidup bermasyarakat yang dialektik dirumuskan dan makin disadari. Kenyataan sosial lebih diterima sebagai kenyataan ganda daripada hanya kenyataan tunggal. Kenyataan kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi obyektif dan subyektif. Manusia adalah  pencipta kenyataan sosial yang subyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan obyektif mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subyektif). Dengan kemampuan berfikir dialektis dimana terdapat tesa, antitesa, dan sintesa, Berger memandang masyarakat sebagai sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat dari berbagai implikasi dimensi kenyataan obyektif dan subyektif, maupun proses dialektis dari berbagai obyektifikasi,internalisasi dan eksternalisasi. Dalam sosiologi modern obyek berpusat pada gejala perubahan sosial, gejala ketimpangan sosial atau gejala modernisasi. Dalam setiap cabang ilmu pegetahuan, yang terpenting adalah memperoleh pengetahuan dari pengertian (memahami) serta menerapkan pengetahuan itu pada masalah-masalah yang selalu saja timbul, ini berlaku pada sosiologi sebagai sentral, pembahasan buku ini. Lewat usaha menjelaskan dialektika antara manusia sendiri dengan lingkungan sosio-kultural, Berger berhasil merumuskan dan menyadarkan kita tentang sifat dasar hidup bermasyarakat yang dialektik.
Bila Karl Marx berhasil menjelaskan bagaimana matter menciptakan mind , maka Berger dan Luckmann juga meyakinkan dan menjelaskan bagaimana mind  menciptakan matter. Dua-duanya terlibat dalam usaha menyingkapkan manusia sebagai Homo Faber , manusia tindakan dan aksi yang kini dalam kebingungan dalam memberikan makna pada hasil karyanya sendiri.

1.2.      Rumusan Masalah
1.      Apa dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari?
2.      Dimana masyarakat dikaitkan sebagai kenyataan yang obyektif?
3.      Bagaimana masyarakat dikaitkan sebagai kenyataan yang subyektif?
1.3.      Tujuan
            Dengan penulisan makalah ini kami sebagai penulis mengharapkan pemahaman yang sederhana tetapi mendalam dalam makalah ini. Dalam buku ini menjelaskan subyek utama dan obyek utama yaitu manusia dimana dalam pemahaman mempuyai fungsi yang berbeda, dengan harap yang besar bisa dipahami atas kenyataan sosial yang menjadi tidak terlepas dari perubahan sosial yang berkelanjutan. Untuk itu pemahaman dalam mencari jawaban dari setiap perubahan sosial yang terjadi di masa lalu,masa kini, dan masa yang akan datang akan menjadi tolak ukur kita dalam menjalani rutinitas sehari-hari.
            Banyak sekali pemahaman dalam makalah ini yang dapat di tafsir sebagai acuan kita dalam berutinitas sebagai wawasan untuk meminimalisir-meminimalisir kesalahan dalam bersikap dan berperilaku. Kebiasaan manusia secara subjektif  ialah sebagai peran dari pada kenyataan sosial yang terdiri atas pemikiran-pemikiran yang terinternalisasi dalam proses sosialisasi primer yang mana pemikiran tersebut cenderung terinternalisasi secara kuat, akan tetapi  jika hasil sosialisasi primer tidak kuat maka hasil dari sosialisasi tersebut akan goyah dengan terjadinya sosialisasi sekunder.









BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Dasar-dasar Pengetahuan Dalam Kehidupan Sehari-hari
2.1.1    Kenyataan hidup sehari-hari.
            Di antara aneka ragam kenyataan, terdapat satu kenyataan yang menampilkan diri sebagai kenyataan par excellence, itulah kenyataan hidup sehari-hari. Posisinya yang istimewa memberi hak kepadanya untuk diberi nama kenyataan utama. Ketegangan kesadaran mencapai tingkat paling tinggi dalam kehidupan sehari-hari; artinya, yang disebut belakangan itu mempengaruhi kesadaran dengan cara yang masif, mendesak dan mendalam. Keadaan ini dimana kesadaran penuh berada dalam, dan memahami, kenyataan kehidupan sehari-hari, sebagai suatu hal yang normal dan sudah jelas dengan sendirinya; artinya, akan membentuk sikap yang alamiah. Memahami kenyataan hidup sebagai suatu kenyataan yang tertib dan tertata. Fenomena-fenomena sudah tersusun sejak semula dalm pola-pola yang tampaknya tidak tergantung pada pemahaman mengenai pemahaman itu. Kenyataan hidup sehari-hari sudah terbentuk oleh suatu tatanan obyek-obyek yang sudah diberi nama sebagai obyek-obyek yang terdahulu. Dimana kesadaran individu di dominasi oleh motif yang pragmatis. Artinya perhatian individu ditentukan oleh apa yang sedang atau apa yang hendak diakukan didalamnya.
            Dengan demikian kenyataan par excellence mengandung wilayah-wilayah yang tidak dapat dimasuki dengan cara itu. Tetapi dalam hal ini akan ada niat pragmatis terhadap wilayah-wilayah itu sejauh niat itu dapat dimanipulasi. Dengan kata lain jika terjebak oleh suatu keadaan dimana prinsip dihadapkan dengan sistematika yang tersusun secara keseragaman ada dua pilihan. Pilihan pertama dengan mengikuti sistematika keadaan dimana prinsip akan hancur dengan keadaan tersebut,  dengan kata lain ikut dalam kelinieran sistematika itu, disini tidak ada jaminan prinsip itu akan menang terhadap keadaan tersebut karena sudah menyatu dengan keadaan itu. Sedangkan pilihan kedua dihadapkan dengan keteguhan prinsip untuk melawan keadaan tersebut dimana prinsip akan kokoh terhadap sistematika keadaan tersebut, yang pada akhirnya akan tercipta kebenaran yang mutlak terhadapnya, karena kelateralan suatu tindakan.
            Untuk menghadapi kenyataan kehidupan sehari-hari yang beragam dan merupakan suatu garis besar daripada kenyataan itu sendiri memerlukan metode dan analisa yang memadai dalam penyelsaian suatu masalah. Dalam arti bahwa dapat dijadikan titik tolak bagi analisa sosiologis, bagi semacam prolegonema filosofis dan pada diri sendiri untuk bersikap pra-sosiologis. Dalam hal pertimbangan-pertimbangan yang mengacu pada pokok-pokok hal suatu problematika yang menjadi dasar disusunya suatu metode yang tersistematis berdasarkan hal atau aspek yang telah terjadi, kini terjadi, dan yang akan terjadi. Maka untuk menafsirkan hal tersebut di butuhkan metode dalam menjelaskan hal-hal dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari ialah metode analisa fenomenologis , suatu metode deskriptif semata-mata untuk menuntut suatu ke-empirisan namun tidak ilmiah menurut pemahaman ini mengenai hakikat-hakikat ilmu-ilmu empiris.
            Analisa fenomenologis dari kehidupan sehari-hari, atau lebih tepat dari pengalaman subyektif di kehidupan sehari-hari, menjauhkan diri dari setiap hipotesa kasual atau genetik, juga dari pertanyaan-pertanyaan mengenai status ontologis dari fenomena-fenomena yang sedang dianalisa. Ini penting untuk diingat, akal sehat mengandung banyak sekali tafsiran pra-ilmiah dan kuasi-ilmiah mengenai kenyataan kehidupan sehari-hari. Jika ingin melukiskan kenyataan menurut akal sehat, kita harus mengacu kepada tafsiran-tafsiran, yang seperti halnya kita harus menjelaskan sifatnya sesuai dengan yang diterima secara fenomenologis dengan rasional. Dalam hal ini antara fenomena dan metode harus sesuai dengan kenyataan kehidupan sehari-hari dengan sebenar-benarnya.
            Kenyataan hidup sehari-hari diterima begitu saja sebagai kenyataan, kenyataan tidak memerlukan vertifikasi tambahan selain kehadiran yang sederhana. Sudah jelas, sebagai faktisitas yang memaksa dengan sendirinya. Secara tidak langsung akan mengerti cara pemahaman luar, di luar pengetahuan kita untuk beradaptasi. Dengan penafsiran terhadap kenyataan yang sebenarnya diperlukan suatu kewajiban untuk memahami keadaan, kesadaran yang sebenarnya agar dapat menciptakan suatu ruang dan waktu terhadap yang keserasian. Dunia kehidupan sehari-hari memiliki struktur ruang dan waktu, dimana ruang merupakan dimensi sosial berkat fakta dan waktu merupakan satu sifat intrinsik dari kesadaran. Arus kesadaran selalu ditata oleh waktu, membedakan waktu merupakan cara intrasubyektif dalam berkehidupan. Intrasubyektifitas dalam kehidupan sehari-hari mempunyai dimensi waktu, bisa dipahami sebagai persilangan antara waktu kosmis dan kalendernya yang diterapkan secara sosial berdasarkan urutan-urutan waktu alam, dan waktu batin dalam perbedaan-perbedaannya seperti yang telah disebutkan.
Tidak akan pernah terjadi suatu keserentakan sepenuhnya antara tingkat-tingkat waktu yang berbeda itu, seperti yang paling jelas di tunjukkan oleh pengalaman menanti, baik organisme individu maupun masyarakat dari peristiwa-peristiwa yang melibatkan hal menanti. Hanya dalam struktur ruang dan waktulah di kehidupan sehari-hari memberi kekhasan kenyataan, karena dalam hal ini sebuah fenomena bisa menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah dalam kenyataannya yang panjang dan selalu beubah-ubah. Demikianlah maka dalam realita kita harus waspada di kemungkinan apa saja yang akan terjadi agar dapat menjalani kehidupan yang lateral dengan baik dan kenyataan tidak selalu baik dan tidak selau buruk tergantung daripada kita untuk menyikapinya. 
2.1.2    Interaksi Sosial dalam Kehidupan Sehari-hari
            Kenyataan kehidupan sehari-hari dialami bersama oleh orang lain. Tetapi bagaimana proses itu berlangsung pada kehidupan. Dalam hal ini kemunginan untuk membedakan antara beberapa modus pengalaman, berlangsung dalam situasi tatap muka individu dihadapkan pada individu lain dengan tujuan sebagai pengungkap ekspresi. Tiap ekspresi diarahkan kepadanya dan sebaliknya, tindakan-tindakan ekspresif terjadi timbal-balik yang terus menerus itu secara serentak pada suatu interaksi. Ini berarti situasi tatap muka, subyektifitas individu terbuka terhadap individu lain melalui gejala-gejala yang maksimal. Dalam kondisi tatap muka individu nyata sepenuhnya dengan kenyataan merupakan bagian dari kenyataan hidup sehari-hari secara keseluruhan, dan karena itu masif (meyakinkan) dan sifatnya memaksa.
            Semua keadaan akan terasa lebih daripada jelas daripada interaksinya, maka satu aspek yang penting dari pengalaman dengan individu-individu lain dalam kehidupan sehari-hari adalah tahap langsung atau tidak langsungnya pengalaman itu. Sudah tentu persoalan tidak sampai disini saja, ada berbagai perbedaan yang jelas dalam pengalaman-pengalaman individu dengan individu lain pada masa yang sama. Pada konteks ini menjelaskan bagaimana pertukaran materi yang terjadi antara beberapa individu terhadap interaksinya yang bermajemuk dengan tujuan untuk menyatakan kebenaran daripada kenyataan yang terjadi. Tidak bisa dipungkiri pada fase ini setiap individu akan sadar bahwa pentingnya suatu interaksi terhadap kehidupan sehari-hari yang pada kenyataannya akan menuntut sebuah keputusan yang tunggal maupun beragam dalam kaitannya dalam mencari suatu keserasian antara interaksi dan kenyataan kehidupan sehari-hari.
            Dengan demikian maka kenyataan sosial kehidupan sehari-hari dipahamai dalam suatu rangkaian dari berbagai tipikasi, yang menjadi semakin anonim dan semakin jauhnya tipikasi dalam situasi tatap muka. Pada salah satu kutub rangkaian ini terdapat abstraksi-abstraksi bagaimana individu terhadap individu lain berinteraksi secara intensif dalam situasi tatap muka. Struktur sosial merupakan jumlah keseluruhan daripada tipikasi-tipikasi itu serta pola interaksi yang berulang-ulang melalui sebuah keadaan itu. Dengan ini, maka struktur sosial merupakan suatu unsur yang esensial daripada kenyataan kehidupan sehari-hari dan memberi pengaruh yang signifikan terhadap gaya interaksi antar individu dalam kenyataan yang sebenarnya dari kegiatan sosialisasi yang terarah oleh kemauan berinteraksi secara bebas dan kadang juga memaksa untuk bersikap lebih daripada diri individu.
            Satu hal lagi yang kiranya perlu di jelaskan bahwa meskipun kami tidak membahas secara panjang lebar. Hubungan individu dengan individu lain tidak terbatas terhadap para pendahulu-pendahulu dan penerus-penerusnya yang telah mendahului dan menyusul dalam sejarah masyarakat yang mencakup keseluruhannya. Dalam keadaan ini, kenoniman daripada tipikasi itu tidak mencegahnya untuk memasuki kenyataan hidup sehari-hari sebagai suatu unsur yang kadang dengan cara yang sangat menentukan. Bagaimanapun reaksi terhadap interaksi akan menjelaskan bagaimana perjuangan para ahli dalam menerangkan bagaimana fenomena-fenomena interkasi sosial dalam kehidupan sehari-hari terhadap keadaan yang sebenarnya dalam mencari berbagai solusi daripada problematika yang mengkaitkan dengan individunya.
2.1.3    Bahasa dan Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari
            Kemampuan ekspresi diri manusia mampu mengadakan obyektifikasi, dengan maksud memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Obyektifikasi itu merupakan isyarat-isyarat yang sedikit banyaknya tahan lama dari proses-proses subyektif para produsennya, sehingga memungkinkan obyektifikasi itu dapat dipakai sampai melampaui situasi tatap muka dimana mereka dapat dipahami secara langsung. Dengan terjadi dari berbagai ekspresi yang memungkinkan terjadinya sebuah interaksi terhadap dari pada reaksi sebagaimana reaksi tersebut memberi aksi dengannya. Maka suatu reaksi dari pada aksi merupakan produk manusia dan sekaligus merupakan obyektifikasi dan subyektifitas manusia. Kenyataan kehidupan sehari-hari tidak hanya terisi oleh obyektifikasi-obyektifikasi melainkan fungsi dari pada subyektif yang membenarkan adanya kesulitan-kesulitan yang terjadi dimasyarakat dengan bahasa sebagai ilmu pengetahuan yang baik dalam mencari pelbagi solusi terhadap problematika tersebut.
            Satu masalah dalam  obyektifikasi yang penting adalah signifikasi, yaitu pembuatan simbol-simbol oleh manusia. Sebuah simbol dapat dibedakan menjadi dari obyektifikasi-obyektifikasi lainnya, karena tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indeks bagi makna-makna subyektif. Memang benar bahwa semua obyektifikasi dapat digunakan sebagai simbol, meskipun mereka semula tidak di buat untuk maksud itu. Dalam hal ini akan tercipta suatu hubungan antara obyek dan subyek dalam tindakannya sebagaimana dari pengetahuan berbahasa.
            Bahasa  bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem daripada simbol-simbol suara, merupakan sistem simbol paling penting dalam masyarakat manusia. Landasannya terletak dalam kapasitas intrinsik organisme manusia untuk mengungkapkan diri dengan suara, tetapi kita baru bisa bicara tentang bahasa apabila ekspresi-ekspresi suara sudah di konotasikan sebagai keadaan. Meskipun ekspresi-ekspresi mempunyai sifat bahasa yang diintegrasikan kedalam suatu sistem tanda yang terdapat secara obyektif. Pemahaman terhadap bahasa merupakan hal yang pokokdan merupakan suatu keharusan untuk memahami tentang kenyataan sebagaimana dalam berkehidupan sehari-hari.
            Bahasa lahir dalam situasi tatap muka, namun dengan mudah dilepaskan darinya. Hal ini terjadi hanya karena individu melakukan rutinitas linguistik. Secara lebih mendasar lagi terletak dalam kemampuannya menyampaikan makna yang tidak merupakan ekspresi-ekspresi yang langsung dari subyektifitas. Dalam situasi tatap muka, bahasa memiliki suatu sifat timbal balik yang inheren yang membedakannya dari setiap sistem simbol lainnya. Fakta yang paradoksal itu telah dijelaskan di muka dengan mengemukakan bahwa dalam situasi tatap muka keberadaan individu secara masif, bersinambung dan pra reflektif, sedangkan bagi keberadaan dan waktu yang bersamaan hadir bagi seseorang individu dan dengan spontan memberi respons kepada keberadaan itu sendiri tanpa “diinterupsi” oleh refleksi yang di sengaja.
            Bahasa mengacu pada kenyataan, dalam keadaan sadar sepenuhnya  yang didominasi oleh motif pragmatis yang dialami bersama individu-individu lain dengan cara yang sudah diterima begitu saja. Meskipun bahasa juga dapat dipakai sebagai acuan pada kenyataan-kenyataan lain, sebagai sebuah sistem simbol bahasa memiliki sifat obyektif dan memaksa setiap individu masuk pada polannya.
Bahasa juga mentifikasi pengalaman-pengalaman dan dengan demikian memungkinkan  menggolongkannya dalam  kategori-kategori yang luas, dengan didalamnya terjadi berbagai pengalaman itu bermakna tidak hanya bagi setiap individu akan tetapi bagi semua yang peduli terhadap bahasa. Oleh kemampuannya untuk mentransendensikan, bahasa menjembatani wilayah-wilayah yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari dan mengintregasikannya kedalam seluruh kesatuan yang bermakna. Transdensi itu mempunyai dimensi-dimensi ruang, waktu, dan sosial , melalui bahasa gaya bisa ditransendensikan jurang antara wilayah manipulasi individu dengan individu lain dalam konteks gaya bahasa.
            Dengan kata-kata sederhana, melalui bahasa di seluruh dunia bisa di aktualisasikan setiap saat. Daya transedensi dan integrasi bahasa ini tetap ada walaupun tidak benar-benar sedang dalam berkomunikasi dengan individu lain. Melalui obyektifitas linguistik pikiran secara keseluruhan dapat dihadirkan setiap saat, sepanjang menyangkut hubungan sosial. Bahasa bukan hanya sesuatu yang berkonotasi fisik akan tetapi dapat dikenang atau dikontruksikan kembalu dari masa lampau maupun sebagaimana dikonotasikan dengan masa depan sebagai titik transedensi. Bahasa membangun bidang-bidang semantik atau wilayah-wilayah makna yang dibatasi secara keberadaan. Kosakata, grammatika, dan siktaksis disesuaikan dengan organisai-organisasi bidang semantik itu. Dengan demikian bahasa dapat membangun skema-skema klasifikasi untuk membedakan obyek-obyek, menurut gender,menurut bilangan, dan sebagainya. Sebagaimana dengan titik tolak tersebut bahasa disini diartikan sebagai alat untuk berkomunikasi demi pengetahuan masyarakat dalam memenuhi kenyataan berkehidupan sosialnya.
            Cadangan pengetahuan masyarakat itu mencakup pula pengetahuan-pengetahuan tentang situasi dan batasannya. Pengetahuan itu sudah tentu terdapat baik pada individu-individunya. Dengan demikian dalam berpartisipasi oleh pengetahuan itu masyarakat memungkinkan keberadaannya yang sesuai dengan kemapuan mereka. Oleh karena itu kehidupan sehari-hari didominasi oleh motif pragmatis, maka pengetahuan mengartikan pada kompetensi-kompetensi pada kegiatan-kegiatan yang rutin, dalam menduduki tempat yang semestinya dalam cadangan pengetahuan masyarakat. Cadangan pengetahuan masyarakat membeda-bedakan kenyataan menurut tingkat keakrabanya. Disini memberikan informasi yang kompleks dan terinci tentang sektor-sektor kehidupan sehari-hari yang sering kali dihadapi. Dengan demikian maka pengetahuan tentang kenyataan sangatlah spesifik sebagaimana dalam hal berelasi dengan individu lain akan menstimulan reputasi daripada individu itu sendiri. Meskipun cadangan pengetahuan masyarakat menghadirkan dunia sendiri dengna cara-cara yang terintegrasi, dengan diferensiasi menurut wilayah-wilayah keakraban dan kejauhan, disini tetap membiarkan totalitas dunia itu dalam keadaan yang transparan. Dengan kata lain kenyataan hidup sehari-hari tampak sebagai sebuah wilayah terang, dibaliknya terdapat suatu wilayah yang gelap. Sementara dibeberapa wilayah diterangi, dan wilayah-wilayah lain tertutup oleh bayangannya yang pada dasarnya saling mempengaruhi satu sama lain terhadap perbedaanya dalam mencari suatu pemahaman tentang bagaimana mencari rencana a, b, c dan seterusnya.
Akhirnya perlu dikemukakan disini tentang satu soal distribusi pengetahuan dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan selalu menyebar terhadap masyarakat, artinya dimiliki secara berbeda daripada setiap individu. Dalam wawasan ini kemampuan pengetahuan masyarakat dipengaruhi oleh gaya bahasa pada kenyataannya dalam menjalin suatu interaksi yang menciptakan suatu reaksi dalam hal pendistribusian pemahaman mengenai dasar-dasar atas kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Distribusi pengetahuan dalam masyarakat tentang unsur-unsur tertentu dari kenyataan sehari-hari bisa menjadi sangat kompleks dan membingungkan dikarenakan oleh salahnya gaya berfikir individu tersebut yang menyebabkan pengetahuan perlu penyembuhan dalam arti perlu nasihat daripada ahlinya. Dengan demikian pendistribusian bahasa sebagai pengetahuan daripada atas kehidupan sehari-hari dimulai dari hal-hal yang sederhana namun mendalam.
Dan distribusi itu mencapai puncaknya dalam sistem-sistem keahlian yang sangat kompleks dan isoteris. Pengetahuan mengenai bagaimana cadangan pengetahuan yang tersedia didalam masyarakat itu didistribusikan setidaknya pada garis besarnya, merupakan suatu unsur terpenting dari cadangan pengetahuan itu pula. 


2.2.      Masyarakat Sebagai Kenyataan Objektif
2.2.1    Pelembagaan Organisme dan Aktivitas
hubungan manusia dengan lingkungannya bercirikan keterbukaan dunia. Tidak saja manusia telah berhasil untuk menghuni bagian terbesar dari muka bumi ini, tetapi juga hubungannya dengan lingkungan sekitar dimana-mana distrukturkan dengan cara yang sangat tidak sempurna oleh konstitusi biologisnya sendiri. Memang benar bahwa hal itu memungkinkan manusia untuk melakukan berbagai jenis kegiatan. Tetapi fakta bahwa disatu tempat ia terus hidup mengembara dan ditempat lainnya ia sudah beralih ke pertanian, tidak dapat dijelaskan dari segi proses-proses biologis. Sudah tentu, ini tidak berarti bahwa tidak ada pembatasan-pembatasan yang di tentukan secara biologis dalam hal hubungan manusia dengan lingkungannya ; perlengkapan indrawi dan pendorongnya yang spesifik menurut jenisnya jelas membatasi lingkup kemungkinan-kemungkinannya. Keistimewaan konstitusi biologis manusia lebih terletak dalam komponen nalurinya.
Organisasi naluri manusia bisa dilukiskan sebagai kurang berkembang jika dibandingkan dengan binatang menyusui setingkat lainnya. Sudah tentu manusia mempunyai dorongan-dorongan naluri. Tetapi dorongan-dorongan itu sangat tidak tidak terspesialisasi dan tidak terarah. Ini berarti bahwa organisme manusia dapat menggunakan perlengkapannya yang sudah di tetapkan oleh susunannya itu untuk banyak sekali macam kegiatan yang, disamping itu, terus menerus dapat berubah dan bervariasi. Kekhususan organisme manusia itu berakar dalam perkembangan ontogenetisnya. Sesungguhnya jika kita memandang persoalan dari segi perkembangan organismis, maka dapat kita katakan bahwa periode Foetal (janin) pada manusia berlangsung terus sampai dengan sekitar tahun pertama sesudah kelahiran. Perkembangan-perkembangan organismis yang penting, yang pada binatang mencapai penyelesaiannya dalam Rahim sang induk, pada bayi manusia berlangsung setelah ia keluar dari kandungan. Tetapi pada masa ini bayi manusia itu tidak hanya sudah berada di dalam dunia luar; ia juga mempunyai hubungan timbal balik dengannya, dengan sejumlah cara yang kompleks.
Dengan demikian, maka organisme manusia secara biologis masih terus berkembang sementara ia sudah berhubungan dengan lingkungannya. Dengan kata lain proses menjadi manusia berlangsung dalam hubungan timbal balik dengan suatu lingkungan. Pernyataan ini semakin penting artinya jika merenungkan bahwa lingkungan ini merupakan lingkungan alam dan lingkungan manusia. Artinya, manusia yang sedang berkembang itu tidak hanya berhubungan secara timbal balik dengan suatu lingkungan alam tertentu, tetapi dengan suatu tatanan budaya dan social yang spesifik, yang dihubungkan dengannya melalui perantara orang-orang berpengaruh (significant others) yang merawatnya. Tidak saja kelangsungan hidup bayi manusia itu tergantung kepada pengaturan-pengaturan social tertentu, tetapi, juga arah perkembangan organismisnya ditentukan secara social. Dari saat kelahirannya perkembangan organismis manusia, dan sesungguhnya sebagian besar dari keberadaan biologisnya itu sendiri, terus menerus mengalami campur tangan yang ditentukan secara social.
Perkembangan bersama dari organisme manusia dan diri manusia dalam lingkungan yang ditentukan, secara social berkaitan dengan hubungan yang khas manusiawi antara organisme dan diri. Hubungan ini merupakan hubungan eksentris. Disatu pihak, manusia adalah badan, sebagaimana dapat dikatakan pula mengenai suatu organisme hewan lainnya. Di pihak lain, manusia punya badan. Artinya pula manusia mengalami dirinya sendiri sebagai suatu entitas yang identik dengan badannya, tetapi sebaliknya, yang memiliki badan itu yang dapat dipergunakannya. Dengan kata lain pengalaman manusia mengenai diri sendiri selalu mengambang dalam keseimbangan antara keberadaannya sebagai badan dan mempunyai badan, suatu keseimbangan yang harus diperbaiki berulang-ulang. Keeksentrisan pengalaman manusia mengenai badannya sendiri itu mempunyai konsekuen-konsekuen tertentu bagi analisa aktifitas manusia sebagai perilaku dalam lingkungan material, dan sebagai eksternalisasi makna-makna subjektif. Untuk dapat memahami secara memadai setiap fenomena manusiawi, kita harus mempertimbangkan kedua aspek itu, dengan alasan-alasan yang berakar dalam fakta-fakta antropologis yang mendasar.
Asal mula pelembagaan
Semula kegiatan manusia bisa mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi dengan upaya sekecil mungkin dan yang, karena itu, dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pembiasaan selanjutnya berarti bahwa tindakan yang bersangkutan bisa dilakukan kembali dimasa mendatang dengan cara yang sama dan dengan upaya yang sama ekonomisnya, ini berlaku bagi aktifitas social maupun yang social. Individu yang menyendiri sekalipun yang diumpamakan hidup di sebuah pulau yang tidak berpenduduk, akan membiasakan kegiatan-kegiatannya apabila ia bangun pada pagi hari dan meneruskan usahanya untuk membuat sebuah perahu dari batang-batang korek api, ia mungkin akan bergumam pada dirinya sendiri “aku mulai lagi sekarang”  sementara ia memulai dengan langkah pertama dari suatu prosedur kerja yang dari, katakanlah, sepuluh langkah. Dengan kata lain, manusia yang menyendiri sekalipun setidaknya di temani oleh prosedur-prosedur kerjanya.
Pelembagaan terjadi apabila ada suatu tipifikasi yang timbal balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan kata lain tiap tipifikasi seperti itu merupakan satu lembaga.  Hal yang harus ditekankan adalah sifat timbal balik (resiprositas) dari tipifikasi kelembagaan dan tipikalitas tidak hanya tindakan-tindakan, melainkan juga dari pelaku-pelakunya dalam lembaga-lembaga. Tipifikasi tindakan-tindakan yang sudah dijadikan kebiasaan, yang membentuk lembaga-lembaga, selalu merupakan milik bersama. Tipifikas-tipifikasi itu tersedia bagi semua anggota kelompok social tertentu yang bersangkutan, dan lembaga-lembaga itu sendiri mentipifikasi pelaku-pelaku individual maupun tindakan-tindakannya. Lembaga-lembaga itu mengandaikan bahwa tindakan-tindakan dari tipe X akan dilakukan oleh pelaku-pelau tipe X. umpamanya lembaga hokum mengandaikan bahwa kepala orang akan dipenggal dengan cara yang spesifik dalam keadaan-keaaan yang spesifik, dan bahwa tipe-tipe individu yang spesifik harus melakukan pemenggalan kepala itu (katakanlah, algojo, atau anggota sebuah kasta yang dianggap rendah,atau gadis-gadis dibwah umur tertentu, atau mereka yang sudah ditentukan suatu orake).

Pengendapan dan Tradisi
Hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan pengalaman manusia tersimpan terus dalam kesadaran. Pengalaman-pengalaman yang tersimpan terus itu lalu mengendap; artinya, menggumpal dalam ingatan sebagai entitas yang bisa dikenal dan diingat kembali. Tanpa terjadinya pengendapan itu individu tidak dapat memahami – biografinya. Pengendapan intersubjektif juga terjadi apabila beberapa individu mengalami suatu biografi bersama, dimana pengalaman-pengalamannya lalu menjadi bagian dari suatu cadangan pengetahuan bersama. Pengendapan inter subjektif itu hanya benar-benar dinamakan social apabila ia sudah di obyektivasi dalam suatau system tanda; artinya, apabila ada kemungkinan bagi berulangnya obyektivikasi pengalaman-pengalaman bersama itu. Baru sesudah itu ada kemungkinan bagi pengalaman-pengalaman itu untuk dialihkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu kolektivitas ke kolektivitas lain. Secara teoristis , kegiatan bersama tanpa suatu system tanda, dapat merupakan dasar bagi pengalihan itu. Akan tetapi secara empiris hal itu tidak mungkin terjadi suatu system tanda, yang tersedia secara obyektif memberikan status anonim pada tingkat permulaan kepada pengalaman-pengalaman yang sudah diendapkan dengan jalan melepaskannya dari konteks boigrafi individual konkretnya yang semula, dan menjadikannya tersedia secara umum bagi semua orang yang sama-sama menganut, atau mungkin akan menganut system tanda yang bersangkutan. Dengan demikian pengalaman-pengalaman menjadi mudah dialihkan.
Pada prinsipnya, sistem tanda yang bagaimanapun sudah cukup untuk tujuan itu. Namun biasanya, dengan sendirinya, sistem tanda yang menentukan adalah yang bersifat linguistic. Bahasa mengobyektivikasi pengalaman-pengalaman bersama dan menjadikannya tersedia bagi semua orang di dalam komunitas bahasa itu, dan dengan demikian menjadi dasar dan alat bagi cadanganpengetahuan kolektif. Selanjutnya, bahasa memberikan cara-cara untuk mengobyektivikasi pengalaman-pengalaman baru. Memungkinkan pemasukannya ke dalam cadangan pengetahuan yang sudah ada, dan ia menjadi alat yang paling penting untuk meneruskan endapan-endapan yang sudah diobyektivikasi dan diobyektivikasi dalam tradisi kolektivitas bersangkutan.
Peranan
Peranan merepresentasikan tatanan kelembagaan. Representasi ini berlangsung pada dua tingkat. Pertama, pelaksanaan peranan merepresentasikan dirinya sendiri. Contohnya menghakimi adalah representasi peranan hakim. Individu yang menghakimi tidak bertindak “atas nama dirinya sendiri” melainkan sebagai hakim. Kedua, peranan merepresentasikan suatu keseluruhan rangkaian perilaku yang melembaga. Peranan hakim berkaitan dengan peranan-peranan lain, yang keseluruhannya mencakup lembaga hukum. Hakim bertindak sebagai wakil lembaga ini. Hanya melalui representasi dalam pelaksanaan peran itu maka lembaga dapat memanifestasikan diri dalam pengalaman yang sebenarnya. Lembaga, dengan rangkaian tindakan-tindakannya yang sudah di programkan, adalah bagaikan “libretto” suatu drama yang belum ditulis. Perwujudan drama ini tergantung kepada dimainkannya secara berulang-ulang peranan-peranan yang sudah ditetapkan oleh para pelaku yang ada. Para pelaku itu mewujudkanperanan-peranan tersebut dan mengaktualisasikan drama dengan merepresentasikannya di atas panggung yang sudah ditentukan. Baik drama maupun lembaga secara empiris tidak terlepas dari pelaksanaannya yang berulang itu. Maka, mengatakan bahwa peranan merepresentasikan lembaga-lembaga sama dengan mengatakan bahwa peranan memungkinkan lembaga-lembaga sama dengan mengatakan bahwa peranan memungkinkan lembaga-lembaga mengada, secara terus menerus, sebagai suatu kehadiran yang nyata dalam pengalaman individu-individu yang hidup.
Analisa peranan terutama penting bagi sosiologi pengetahuan karena ia menyingkapkan perantaraan (mediasi) antara universum makna makroskopik yang diobyektivikasi dalam suatu masyarakat dan cara-cara yang dengannya universum-universum itu menjadi nyata secara subyektif bagi individu-individu. Dengan demikian, maka kita dapat, umpamanya, menganalisa akar-akar social yang makroskopik dari suatu pandangan dunia yang religious dalam kolektivitas-kolektivitas tertentu. Dan juga menganalisa caranya pandangan dunia ini dimanifestasikan dalam kesadaran individu.
Kedua analisa itu hanya dapat di persatukan jika kita menyelidiki cara-cara dengan mana individu – dalam keseluruhan kegiatan sosialnya – berhubungan dengan kolektifitas yang bersangkutan. Dengan sendirinya, penyelidikan seperti itu akan merupakan analisa tentang peran.
Lingkup dan Cara-cara Pelembagaan
Secara formal, lingkup pelembagaan tergantung kepada sifat umum dari struktur-struktur relevansinya. Jika banyak, atau bagian terbesar, dari struktur-struktur relevansi dalam suatu masyarakat secara umum dimiliki bersama, maka lingkup pelembagaannya akan luas. Jika hanya sedikit saja struktur relevensi yang dimiliki bersama, maka lingkup pelembagaannya akan sempit. Dalam hal yang disebut belakangan itu ada kemungkinan lebih lanjut bahwa tatanan kelembagaannya akan sangat terpecah-pecah (terfragmentasi), dimana struktur-struktur relevensi tertentu dimiliki oleh golongan-golongan tertentu dalam masyarakat tetapi tidak oleh masyarakat itu secara keseluruhan.
Peanan-peranan bisa direifikasi dengan cara yang sama seperti lembaga-lembaga. Sektor kesadaran diri yang telah diobyektivikasi dulu dalam peranan lalu juga dipahami sebagai takdir yang tak terelakan lagi, dan individu bisa mengatakan tidak bertanggung jawab atasnya.
2.2.2    Legitimasi
Asal Mula Universum-universum Simbolis
Legitimasi sebagai proses, paling tepat dilukiskan sebagai suatu obyektivikasi makna “tingkat kedua”. Legitimasi menghasilkan makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses kelembaggaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat obyektivikasi “tingkat pertama” yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektiv dan masuk akal secara subyektif. Sedangkan kami mendefinisikan legitimasi dari segi fungsi ini, tanpa memandang motif-motif khusus yang mengilhami tiap proses legitimasi tertentu, perlu ditambahkan bahwa “integrasi” dalam salah satu bentuknya juga merupakan tujuan khas yang memotivasi orang yang melakukan legitimasi itu.
Universum simbolis dipahami sebagai matrik dan semua makna yang diobyektivikasi secara sosila dan yang nyata secara subyektif. Keseluruhan masyarakat historis dan keseluruhan biografi individu dilihat sebagai peristiwa-peristiwa yang berlangsung didalam universum ini.yang terutama penting adalah bahwa situasi-situasi marjinal dalam kehidupan individu juga tercakup oleh universum simbolis itu. Universum simbolis memungkinkan penataan pemahaman subyektif itu dari pengalaman biografis.
Asal usul universum simbolis berakar dalam konstitusi manusia. Apabila manusia dalam masyarakat merupakan pembangun dunia, maka hal itu dimungkinkan oleh ketrbukaan dunianya yang sudah diberikan oleh konstitusinya, yang sudah mengandung arti adanya konflik antara ketertiban dan khaos.
Peralatan Konseptual untuk Memelihara Universum
Peralatan-peralatan konseptual yang memelihara universum simbolis selalu memerlukan sistematisasi legitimasi kognitif dan normative, yang sudah terdapat dalam masyarakat pada tingkat yang lebih naiff, dan yang diwujudkan dalam universum simbolis yang bersangkutan. Dengan kata lain yang diperlukan untuk membangun legitimasi pemeliharaan universum,dalam banyak hal, merupakan pemekaran yang lebih lanjut, pada tingkat integrasi teoretis yang lebih tinggi, dari berbagai legitimasi berbagai lembaga.
Organisai Sosial untuk Memelihara Universum
            Karena merupakan produk historis dari kegiatan manusia, maka semua universum yang dibangun secara social itu berubah, dan perubahan itu ditimbulkan oleh tindakan-tindakan konkret manusia. Jika kitatenggelam dalam segala seluk beluk mengenai peralatan konseptual yang digunakan untuk memelihara tiap universum tertentu, kita bisa lupa akan fakta sosiologis yang mendasar ini. Kenyataan ditentukan atau didefinisikan secara social. Akan tetapidefinisi-definisi itu selamanya diwujudkan, artinya individu-individu dan kelompok individu yang konkret bertindak sebagai pembuat definisi tentang kenyataan. Untuk dapat memahami keadaan universum yang dibangun secara social itu pada setiap saat tertentu, atau perubahannya dalam perjalanan waktu, kita harus memahami organisasi social yang telah memungkinkan para pembuat definisi tentang kenyataan.
2.3       Masyarakat Sebagai Kenyataan Subjektif
2.3.1    Internalisasi Kenyataan
Sosialisasi Primer
            Individu tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat. Ia di lahirkan dengan suatu kecenderungan ke arah sosialitas, dan ia menjadi anggota masyarakat. Titik awal proses dari proses ini adalah internalisasi yaitu pemahaman atau penafsiran yang berlangsung dari suatu suatu peristiwa objektif sebagai suatu pengungkapan makna; artinya, sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subyektif  orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna secara subyektif bagi dirinya sendiri.Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama yang di alami individu dalam masa kanak-kanak, yang dengan itu ia menjadi anggota masyarakat. Sosialisasi sekunder adalah setiap proses berikutnya yang mengimbas individu yang sudah di sosialisasikan itu kedalam sektor-sektor baru dunia obyektif masyarakatnya.Sosialisasi primer biasanya merupakan sosialisasi yang paling penting bagi individu, dan bahwa struktur dasar dari semua sosialisasi sekunder harus mempunyai kemiripan dengan stuktur dasar sosialisasi primer. Tiap individu dilahirkan kedalam suatu struktur sosial yang obyektif dimana ia menjumpai orang-orang yang berpengaruh dan yangbertugas mensosiosialisasikannya.
            Sosialasi primer menciptakan di dalam kesadaran anak suatu abstraksi yang smakin tinggi dari peranan-peranan dan sikap orang orang-orang lain tertentu ke peranan-peranan dan sikap-sikap pada umumnya.Isi-isi khusus yang diinteralisasi dalam sosialisasi primer berbeda dari masyarakat ke masyarakat, tetapi ada juga yang sama. Yang pertama-tama harus di internalisasi adalah bahasa. Dengan bahasa dan dengan perantaranya, berbagai skema motivasi dan interpretasi di internalisasi sebagai sudah didefinisikan secara kelembagaan. Dalam sosialisasi primerlah, dunia pertama individu terbentuk. Kekukuhannya yang khas dapat dijelaskan, setidaknya untuk sebagian oleh hubungan individualnya yang tak terelakkan denganoang-orang yang pertama sekali mempengaruhinya. Sifat sosialisasi primer di pengaruhi oleh berbagai persyaratan dalam pengalihan cadangan pengetahuan, selain itu  tuntutan-tuntutan tatanan kelembagaan secara keseluruhan juga mempengaruhi sosialisasi primer.
            Sosialisasi primer berakhir apabila konsep tentang orang lain pada umumnya dan segala sesuatu yang menyertainyatelah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran individu. Pada titik ini sudah merupakan anggota efektif masyarakat dan secara subjektif memiliki suatu diri dan sebuah dunia.Tetapi internalisasi masyarakat, identitas dan kenyataan ini tidak dapat terjadi sekali dan langsung selelsai secara tuntas. Sosialisasi tidak pernah totl dan tak pernah selesai. Ini menghadapkan kita pada dua masalah yakni bagaimana kenyataan yang sudah ada diinternalisasi dalam sosialisasi primer itu di pertahankan dalam kesadaran dan bagaimana internalisasi-internalisasi berikutnya atau sosialisai sekunder dari individu berlangsung.
 Sosialisasi Sekunder-Sosialisasi Sekunder
            Sosialisasi sekunder adalah internalisasi sejumlah “subdunia” kelembagaan atau yang berlandaskan lembaga. Karena itu, lingkup jangkauan dan sifatnya ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya. Sifat sosialisasi sekunder tergantung kepada status perangkat pengetahuan yang bersangkutan di dalam universum simbolis secara secara keseluruhan. Proses-proses formal dalam sosialisasi sekunder di tentukan  oleh masalah dasarnya yaitu selalu mengandaikan suatu proses sosialisai primer yang mendahuluinya, artinya ia berurusan dengan suatu diri yang sudah terbentuk dan suatu dunia yang sudah di internalisasi. ia tidak bisa membangun kenyataan subyektif ex nihilo. Itu merupakan satu masalah, karena kenyataan yang sudah di internalisasi mempunyai kecenderungan untuk bertahan terus. Karena itu ada masalah konsistensi antara internalisasi yang pertama dan internalisasi yang baru.
Dalam sosialisasi sekunder, keterbatasan biologis semakin kurang penting bagi tahap-tahap belajar, yang sekarang di tentutukan menurut sifat-sifat intrinsik dari pengetahuan yang hendak di peroleh. Pada sosialisai sekunder tidak memerlukan identifikasi yang bermuatan emosi di pihak anak dengan para pengasuhnya dan bisa erlangsung secara efektif dengan hanya identifikasi timbal-balik sebanyak yang masuk dalam tiap komunikasi antar manusia. Sosialisasi dalam kehidupan selanjutnya  secara tipikal baru akan bersifat emosional yang mengingtkan kepada masa kanak-kanak, apabila ia berusaha untuk secara radikal mentransformasikan kenyataan subyektif individu. Formalitas dan anonimitas berkaitan dengan sifat afektif hubungan sosial dalam sosialisai sekuner. Tetapi konsekuensi yang paling penting adalah bahwa mereka  memberikan kepada isi dari apa yang dipelajari dalam sosialisasi sekunder suatu sifat ketidakterelakan subyektif yang jauh lebih lemah dibandingkan dengan apa yang terdapat pada isi sosialisasi primer.
            Kenyataan bahwa proses-prose sosialisasi sekunder tidak mengandaikan suatu tingkat identifikasi yang dan bahwa isinya tidak memiliki sifat ketidakterelakan dapat berguna dari segi pragmatis, karena hal itu memungkinkan tehap-tahap belajar yang rasional dan terkendali dari segi emosi. Tetapi karena isi internalisasi jenis ini mempunyai kenyataan subyektif yng rapuh dan tidak dapat di andalkan jika di bandingkan dengan internalisasi sosialisasi primer, maka dalam beberapa kasus harus dikembangkan teknik-teknik khusus untuk menghasilkan identifikasi dan ketidakterlekan yang di anggap perlu. Kebutuhan akan teknik-teknik semacam itu mungkin bersifat intrinsik dari segi mempelajari dan menerapkan isi internalisasi, atau mungkin pula di tentukan demi kepentinagn mapan dari personel yang mengelola proses sosialisasi yang bersangkutan.
            Teknik-teknik yang digunakan dalam suatukasus dimaksudkan untuk mengintensifkan muatan aktif dari proses sosialisasi. Secara khas,tknik-teknik itu melibatkan pelembagaan suatu proses inisisasi yang rumit, suatu masa percobaan di mana individu pada akhirnya mengikat diri sepenuhnya kepada kenyataan yang sedang diinternalisasi.
            Distribusi tugas-tgas yang sudah di lembagakan antara sosialisai primer dan sosialisasi sekunder bervariasi menurut kompleksitas distribusi pengetahuan dalam masyarakat. Selama ia relatif tidak rumit, badan kelembagaan yang sama dapat melaksanakan sosialisasi mulai dari yang primer hingga ke tahap sekunder sampai ke tingkat yang tinggi. Apabila distribusi itu sudah sangat komplek, mungkin perlu di kembangkan badan-badan khusus untuk sosialisasi sekunder.
Memelihara dan Mentransformasikan Kenyataan Subyektif
            Fokus dalam pembahasan ini adalah kepada soal memelihara kenyataan subyektif dan bukan obyektif; kenyataan sebgaimana yang dipahai dalam kesadaran individu dan bukan kenyataan  sebagaimana yang di tentutukan secara kelembagaan.
            Sifat sosialisasi sekunder yang lebih “artifisial” menyebabkan kenyataan subyektif dari internalisasinya lebih terbuka lagi terhadap definisi-definisi  tndingan tentang kenyataan, sehingga kenyataan yang tidak begitu kukuh berakar dalam kesadaran akan lebih mudah tergeser. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita dapat memepertahankan diri karena sudah terkandung dalam kegiatan-kegiatan rutin , yang merupakan inti pelembagan. Selain itu, kenyataan hidup sehri-hari secara terus-menerus diperkuat kembali dalam interaksi individu dengan orang lain.
            Orang-orang yang berpengaruh dalam kehidupan individu merupakan agen-agen utama untuk mempertahankan kenyataan subyektifnya. Orang-orang lain yang tidak begitu berpengaruh berfungsi sebagai semacam pengiring. Hubungan antara orang-orang yang berpengaruh dan “koor pengiring” dalam pemeliharaan kenyataan merupakan hubungan dialektik. Artinya mereka berinteraksi satu sama lain dan juga dengan kenyataan subyektif yang mereka konfirmasikan. rti penting yang relatif dari orang-orang yang berpengaruh itu serta “koor pengiring” bisa dilihat dengan cara yang paling mudah jika kita memperhatikan kasus-kasus dis-konfirmasi kenyataan subyektif. Wahana yang paling penting untuk memelihara kenyataan adalah percakapan. Kita bisa memandang kehidupan sehari-hari individu sebagai suatu alat percakapan yang bekerja giat untuk secara terus-menerus memelihara,memodifikasi, dan membangun kembali kenyataan subyektifitasnya.
            Potensi percakapan untuk melahirkan kenyataan ini sudah diberikan dalam fakta obyektifitas linguitik. Kita melihat bagaimana bahasa mengobyektifikasi dunia, mentransformasikan panta rhei pengalaman menjadi suatu tatanan yang kohesif. Dalam menciptakan tatanan ini, bahasa mewujud-nyatakan  suatu dunia, dalam arti ganda memahami dan memproduksinya. Percakapan adalah  aktualisasi keefektifan bahasa untuk perwujuduan ini dalam situasi tatap muka dalam eksistensi individu. Dalam percakapan, obyejtifitas bahasa menjadi obyek kesadaran individu. Dengan demikian maka fakta yang mendasar dari pemeliharaan-kenyataan itu adalah penggunaan bahasa yang sama secara terus-menerus untuk mengobyektifikasi pengalaman biografis yang sedang berkembang.
2.3.2    Internalisasi dan Stuktur Sosial
            Sosialisasi selalu belangsung dalam konteks struktur sosial tertentu. Tidak hanya isinya, tetapi juga tingkat keberhasilannya, mempuyai kondisi sosial-struktural dan konsekuensi sosial-struktural.
            Situasi yang mengarah pada kegagalan sosialisasi timbul apabila terdapat pertentangan antara sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Kesatuan sosialisasi primer dipertahankan, tetepi dalam sosialisasi sekunder tampil kenyataan-kenyataan dan identitas-identits alternatif sebagai pilihan subyektif. Pilihan itu, dengan sendirinya dibatasi oleh konteks sosial-struktural individu bersangkutan. Konsekuensi lainnya yang sangat penting apabila terdapat pertentangan antara sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder adalah  kemungkinan bahwa individu sudah mempunyai hubungan dengan dunia-dunia yang saling bertentangan dan yang secara kualitatif berbeda dengan hubungan-hubungan dalam situasi –situasi yang telah di bahas sebelumnya. Jika dunia-dunia yang saling bertentangan muncul dalam sosialisasi primer, individu mempunyai pilihan untuk mengidentifikasikan dirinya dengan salah satu diantaranya dan menolak yang lain-lainnya karena terjadi dalam sosialisasi primer, dari segi afektif akan bermuatan sangat tinggi. Identifiksi dan penyelingan, semuanya akan disertai krisis-krisis afektif, karena proses-proses itu akan selalu tergantung pada pengantaran pengasuh-pengasuh.
            Penampilan dunia-dunia yang saling bertentangan dalam sosialaisasi sekunder menghasilkan konfigurasi yang berbeda sama sekali. Dalam sosialisasi sekunder, internalisasi tidak perlu disertai pengindifikasian yang bermuatan afektif dengan pengasuh-pengasuh individu bisa menginteralisasikan kenyataan-kenyataan yang berbeda tanpa mengdentifikasikan diri dengan para pengasuh. Karena itu, apabila suatu dunia-alternatif muncul dalam sosialisasi sekunder, individu akan memilihnya dengan cara yang menipulatif. Individu menginternalisasikan kenyataan yang baru itu, tetapi bukan sebagai kenyataan-kenyataannya, melainkan sebagai suatu kenyataan yang bisa digunakan untuk tujun-tujuan khusus.
            Hal yang perlu di tekankan, situasi seperti itu tidak bisa dipahami kecuali dengan jalan menghubungkannya secara terus-menerus dengan konteks sosial-strukturalnya, yangsecara logis bergerak dari hubungan yang perlu antara pembagian kerja secara sosial dan distribusi pengetahuan secara sosial.
2.3.3    Teori-Teori Identitas
            Identitas, dengan sendirinya merupakan satu unsur knci dari kenyataan subyektif dan sebagaimana semua kenyataan subyektif, berhubungan secara dialektif dengan masyarakat.Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh wujudnya, ia dipelihara, dimodifiasi, atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial. Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial.Sebaliknya, identitas-identitas yang dihasilkan oleh interaksi antara organisme, kesadaran individu,dan stukrtur sosial bereaksi terahadap struktur sosial yang sudah diberikan, memeiharanya, emodifikasinya atau malah membentuknya kembali. Masyarakat mempunyai sejarah dan di dalam perjalanan sejarah itu muncul identita- identitas khusus, tetapi sejarah-sejarah tu di buat oleh manusia dengan identitas-identitas tertentu.
            Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dan masyarakat. Sebaliknya, tipe-tipe identitas merupakan produk-produk sosial semata-mata, unsur-unsur yang relatif stabil dari kenyataan sosial obyektif. Dengan demikian, tipe-tipe identitas itu merupakan pokok dari suatu bentuk kegiatan berteori dalam tiap masyarakat, sekalipun tipe-tipe itu stabil, dan pembetukan identitas-identitas individu relatif tidak menimbulkan masalah.
2.3.4    Organisme dan Identitas
            Organisme terus mempengaruhi tiap tahap kegiatan manusia untuk membentuk kenyataan dan bahwa organisme itu, pada gilirannya, juga di pengaruhi oleh kegiatan itu. Kasarnya, animality  manusia di transformasikan dalam sosialisasi, tetapi tidak di tiadakan sama sekali.
            Kenyataan sosial menetukan tidak hanya kegiatan dan kesadaran, tetapi-sampai tingkat cukup jauh-jugaberfungsinya organisme. Dalam siri individu yang sudah disosialiasikan sepenuhmya terdapat dialektika batin yang berlangsung terus-menerus antara identitas dan substratum biologisnya. Individu terus mengalami dirinya sebagai suatu organisme, terlepas dari, dan kadang-kadang berlawanan dengan, obyektifikasi-obyektifikasi tentang dirinya yang di peroleh secara sosial.

            Dari sgi biologis, manusia sudah di takdirkan untuk membentuk dan menghuni suatu dunia bersama-sama dengan manusia-manusi lainnya. Dunia ini baginya menjadi kenyataan yang dominan dan yang diberi batasan. Batas-batasnya di tentuak oleh alam, tetapi begitu sudah dibangun, dunia ini berbalik memengaruhi alam. Dalam dialektika antara alam dan dunia yang dibangun secara sosial itu organisme manusia sendiri ditransformasikan. Dalam dialektika yang sama, manusia menciptakan kenyataan dan denagan itu menciptakan dirinya sendiri.

No comments:

Post a Comment