Thursday, August 28, 2014

Cerpen Cinta dan Luka

Terimakasih untuk Cinta & Lukanya


          Jam menunjukan angka 07.15, udah seharusnya aku berangkat sekolah. Dan sesampainya di sekolah aku langsung duduk ditempat dudukku, dan menoleh ke belakang kearah meja Brian. Brian Syahreza adalah sahabatku, tapi itu dulu. Semenjak ulang tahunku yang ke 16, dia berubah padaku, perhatiannya melebihi seorang sahabat. Kita udah deket semenjak kenaikan kelas XI, itu juga karna dia nyambung sama aku enak di ajak bercanda. Akhir-akhir ini kita deket kesana kesini bareng.
Awal bulan Mei aku di beri cobaan oleh Tuhan, seorang cewek yang gak suka terhadap kedekatanku dan Brian, dia adalah Fera. Fera dulu juga dekat dengan Brian, tapi mereka gak sampe jadian. Teman-teman Fera melabrakku, dengan tuduhan aku merebut Brian dari Fera, entah apa yang harus aku lakukan, toh faktanya emang Brian kan gak pernah jadian sama Fera. DEKET? Ya tapi itu dulu pada saat mereka kelas 10. Dan disini aku belajar menjadi sosok pribadi yang kuat, sabar dan tidak menghiraukan mereka yang iri padaku. aku tak memikirkan masalah itu, karna hati aku yang terpenting bukan mereka.
          Aku capek harus bolak-balik toilet untuk membuang air mata kepedihan ini, aku gak kuat nahan air mata di depan Brian. Setiap kali aku menatap matanya aku bertanya dalam hati “apakah kamu benar mencintaiku, ataukah aku hanya bonekamu?”, sikap cueknya itu membuatku perih dan sesak di dada. Aku harus bertahan, mungkin aku belum terbiasa dengan sikapnya, harus selalu optimis berfikir tentang dia. Prinsipku “jika kita ingin di mengerti oleh mereka, kita juga harus mengerti mereka” yup aku harus ngertiin dia. Berminggu-minggu aku dekat padanya, tapi dia sama sekali belum menyatakan perasaannya, aku rasa aku harus menunggu dan dia juga butuh waktu, dan aku yakin dia punya cara tersendiri buat ngungkapinnya.
***
          Hari ini upacara bendera libur dulu soalnya ujan nih pagi-pagi, aku dari dulu gak suka sama yang namanya hujan, aku gak suka petir. Aku duduk diam di bangkuku dan lalu aku menoleh ke arah Brian yang sedang menikmati music yang ada di speaker porttablenya, aku terus menatapnya dan bicara padanya. “Yan, ganti dong lagunya, aku gak suka lagunya.” Pintaku padanya.
          Dia melihat ke arahku, dan dia malah buang muka padaku. Aku langsung terdiam dan membalikkan badanku ke arah papan tulis. Dia gak suka ya sama aku, sampe dia gituin aku? Hmm.
aku masih sabar soal itu, aku menoleh teman sebangku ku, aku meminjam LKS nya, tapi terdengar dari suara di belakangku “aku dulu lyn yang minjem” aku langsung melempar LKS itu kearah mukanya. Dan aku langsung lari ke toilet, aku langsung kunci pintu dan menyalakan air keran, supaya gak ada yang tau kalau aku nangis. Aku baru sadar sahabatku Nessa tau kalau aku pergi sendirian pasti ada sesuatu hal yang terjadi kepadaku, aku langsung mengusap air mataku, dan mencuci mukaku, aku keluar dari toilet itu, lalu aku berjalan menuju kantin. Aku gak peduli aku harus kehujanan, walaupun hujannya gak terlalu lebat. Aku memesan teh hangat, dan langsung duduk di meja kantin, ku pandangi Iphoneku. Tapi, gak ada satupun pesan atau bbm dari Brian. Brian tidak mengkhawatirkanku, dia tak mencariku, tiba-tiba hujan sangat lebat datang menghampiri, aku sudah tak kuat menahan rasa sakit dan air mata ini. Aku langsung berjalan menuju kelasku dengan airmata ini, seenggaknya kali ini hujan telah membantuku untuk menghapus air mata ini. Tiba-tiba Nessa menghalangiku.
          “Kamu kenapa Lyn? Kamu habis nangis ya?” Tanya Nessa dengan khawatir
          “Aku gapapa kok, santai aja” Jawabku sambil sedikit senyum
          “Aku kenal kamu gak cuma satu dua hari Lyn, tapi tiga tahun. Aku tau siapa dirimu. Kamu pasti ada apa-apa. Kamu cerita Lyn ada apa?” Ucap Nessa dengan sedikit mendesak
          “Hatiku sakit Nes, aku gak tau lagi harus gimana.” Jawabku sambil menangis.
          “Kamu disakitin siapa?” Tanya Nessa ingin tahu
          “Brian.”Jawabku dengan sesak
          “Kenapa lagi dengan Brian? Kamu diapain lagi sama dia? Biar aku labrak dia. Kamu diapain sama dia?” Desak Nessa dengan nada tinggi
          “Mungkin aku yang terlalu berharap, mungkin aku yang salah. Aku mengharapkan seseorang yang tidak mencintaiku. Aku yang bodoh.” Jawabku
          “Ssssttt.. jangan pernah bilang seperti itu. Kamu gak salah kok sayang, kamu gak bodoh. Cup cup cup jangan nangis ya sahabatku, kamu kuat kok Lyn, kamu pasti bisa ngelaluin ini semua. Ibarat besi itu butuh ditempa puluhan kali untuk menjadi pisau yang tajam. Ini proses hidup Lyn, yang nantinya akan menguatkan Evelyn. Yang sabar ya, aku yakin kamu pasti kuat. Senyum dulu dong.” Nasehat Nessa untuk memotivasiku dengan memeluk erat tubuhku
          “Makasih ya Ness, makasih untuk motivasinya. Doakan aku agar selalu kuat ya.” Pintaku
          “Pasti Evelynku sayang, sudah ya jangan nangis.” Jawab Nessa
***
          Satu jam aku berada di luar kelas, sebentar lagi bel pulang, aku pamit ke Nessa untuk pulang duluan. Aku langsung segera ke kelas dengan basah kuyup. Waktu aku baru masuk kelas, mataku langsung tertuju pada Brian, ternyata dia asik-asik aja bercanda sama yang lainya, dia sama sekali tidak mencariku dan mengkhawatirkanku. Aku langsung mengambil tasku dan pulang ke rumah dengan motor kesayanganku, tak pandang seberapa deras hujan saat itu.
          Sesampainya di rumah aku langsung lari ke kamar mandi, seperti biasa aku langsung menyalakan air keran di bak mandi. Aku berdiri di depan cermin, mataku, hidungku, bibirku merah karena hujan di mataku ini, teringat Brian aku langsung menahan sesak di dada dan airmata ini. Aku menghempaskan tubuhku di lantai kamar mandiku, aku meluapkan rasa sakit itu dengan air mata. Brian gak suka sama aku, Brian gak peduli sama aku. Dari hal terkecil tadi aja dia tidak menghawatirkan aku. Sampai sekarang aku gak pernah tau perasaan Brian gimana sama aku, aku gak boleh terlalu berharap. Kalau dia ada rasa sama aku pasti dia nyari aku, tapi nyatanya engga. Aku gak boleh nangis lagi aku harus bangun dari ketepurukanku, dia gak bakal tau aku sesakit ini dan menurutku kalau cinta itu seneng susah bareng, tapi malah senengnya aja yang bareng. Ya aku tau dia gak ada rasa sama aku, wake up from your dream Lyn ! masih banyak yang lain yang bisa bikin seneng, jangan terpaku pada satu orang yang selalu bikin sakit.
                                                                        ***

               Aku masuk kekelasku dan pagi itu aku bertemu sesosok Brian, aku langsung berhenti di tempat sejenak, ku tarik nafasku  dalam-dalam dan ku hembuskan perlahan dan aku langsung melanjutkan jalan ku ke arah tempat duduk. Brian menghampiriku, dia berbicara panjang lebar tapi sayangnya aku udah gak peduli, aku abaikan saja dia. Bel istirahat sudah berbunyi aku segera membereskan buku-bukuku di atas meja, aku berdiri dari tempat duduk ku, Brian menarik tanganku, dia berbicara dengan nada pelan kepadaku.

          “Lyn, kamu kenapa?” Tanya Brian

          “Menurutmu aku kenapa?” Jawabku kesal

          “Kamu beda Lyn, aku salah apa sama kamu?” Nada Brian yang semakin pelan.

          “Kamu bilang aku beda? Aku kaya gini karena kamu. Sudahlah kamu itu enggak pernah peduli sama aku Yan, dan sekarang kamu gausah sok sokan peduli gitu sama aku.” Nadaku agak tinggi.

aku perlahan pergi meninggalkan Brian, tapi Brian menarik tanganku.
          “Tapi tunggu Lyn, aku sayang kamu.” Tegas Brian
          “Oh gitu ya, kemarin-kemarin kamu kemana? saat aku butuhin yang ada malahan kamu asik-asik sendiri kan sama temen-temen kamu, aku pergi dan kehujanan kemarin, apa kamu khawatirin aku? Enggak kan Yan? kamu enggak peduli sama aku, sekarang kamu seenaknya bilang sayang, emang aku apaan Yan?” Kesalku
          “Lyn dengerin penjelasan aku dulu.” Rintihnya
          “Aku ga butuh penjelasan apapun dari kamu Yan, semuanya udah jelas kok!” suara lantang keluar dari mulutku, lalu aku langsung melepaskan genggamannya dan kemudian aku pergi meninggalkannya.
***
          Aku berjalan entah kemana, aku gak punya tujuan, yang tadinya mau ke kantin. Tetes demi tetes air mata ini mulai berjatuhan, kenapa harus kayak gini sih. Aku terus berjalan sambil mengusap air mataku. Karna ini semua bukan akhir. Karna sudah lama aku lelah menunggunya, menunggu kepastian hubungan diantara kita itu apa. Ternyata aku baru sadar orang yang mencintai kita adalah orang yang memperdulikan kita. Seperti sahabatku Nessa.
          Aku selalu bertanya-tanya, mengapa semua terjadi saat aku mulai berusaha untuk menghilangkan perasaanku kepadanya. Mengapa semua terjadi saat aku sudah tidak cukup kuat untuk bertahan dalam kesakitan ini. Apa salahku? Apa salahku? Hingga aku harus merasakan kesakitan ini. Aku sungguh tidak mengerti akan artinya cinta. Apakah cinta sesakit ini? Apakah cinta seperih ini? Ya Allah, kuatkanlah hamba untuk menghadapi ini semua.
          Aku menjalani hari-hariku dengan selalu semangat dan berusaha untuk melupakan semua yang terjadi. Aku terus berusaha untuk menghibur diri. Aku bersyukur mempunyai teman yang peduli dan selalu membuatku tertawa. Namun Brian semakin merasa bersalah terhadapku dan terus mengejarku dengan pertanyaan-pertanyaannya.
          “Lyn, tolong jelasin apa salahku hingga kamu berubah sikap seperti ini kepadaku.” Rintihnya
          “Kalo kamu pengen tau apa salahmu, intropeksilah !” Jawabku dengan muak
          “Aku berhari-hari merenung memikirkan apa salahku terhadapmu, tapi sampai sekarang aku masih belum menemukan jawabannya.” Ujarnya
          “Itu semua karena keegoisanmu Yan, yang tak pernah bisa memahami perasaan orang lain.” Kataku
          “Gimana caranya biar kamu bisa memaafkanku Lyn? Aku akan lakukan apapun asal itu bisa buat kamu memaafkanku. Karena aku sayang sama kamu Lyn.” Jawabnya dengan meneteskan airmata.
          “Semua sudah terlambat Yan, aku sudah bertekad untuk melupakanmu. Kesakitan yang selama ini kamu berikan kurasa sudah lebih dari cukup. Satu dua kali mungkin aku masih bisa memaafkanmu. Tapi untuk saat ini, sulit untuk memaafkanmu.” Ucapku
          “Aku minta maaf banget kalo selama ini aku sudah menyakitimu. Aku bener-bener minta maaf. Aku gak ada maksud sedikitpun untuk menyakitimu. Aku hanya bingung bagaimana caranya untuk mengungkapkan perasaanku kepadamu. Aku mencintaimu Evelyn. Sekali lagi maaf atas semua kebodohanku.” Kata Brian dengan memelas
          “Terimakasih untuk cinta dan lukanya, maaf aku belum bisa melupakan semua kesakitan yang kamu berikan.” Kataku dengan nada rendah
          “Sampai kapanpun kamu akan menjadi sahabat sekaligus seseorang yang special di hatiku. Dan akan ada tempat tersendiri untukmu Evelynku sayang, maafkan aku.” Ucap Brian
          Tanpa berkata apapun, aku pergi meninggalkan Brian sendirian. Sebenarnya aku ingin sekali saat itu untuk memeluknya. Aku masih mencintainya, namun aku tak mungkin untuk kembali padanya. Sakitku terlanjur dalam dan sulit untuk memaafkanya.Tekadku sudah bulat untuk menghapus semua bayangannya dari pikiranku. Dan aku harus bangkit dari keterpurukanku. Selamat tinggal Brian, maafkan aku.
***
          Malam itu langit begitu cantik, dengan hiasan bintang-bintang yang menerangi malam yang gelap ditemani dengan sinar rembulan yang tersenyum begitu menawan. Saat itu aku terlentang diatas tempat tidurku dengan memandangi langit malam dari atap kaca kamarku. Hal itu adalah kebiasaanku setelah selesai belajar. Setelah sekian detik merenung dalam diam, tiba-tiba pikiranku melayang teringat kengan saat bersama Brian. Kenangan yang begitu indah saat malam-malamku ditemani olehnya untuk melihat cantiknya sang rembulan. Aku merindukannya. Tak sadar airmataku jatuh membasahi pipiku. Sesegera aku meraih Iphoneku dan mengambil headsetku. Now playing, Sherina-Pergilah kau. Lengkap sudah kesedihanku malam itu.
Tak mau lagi aku percaya
Pada semua janji-janjimu
Tak mau lagi aku tersentuh
Pada semua pengakuanmu
Kamu takkan mengerti rasa sakit ini
Kebohongan dari mulut manismu
Pergilah kau
Pergi dari hidupku
Bawalah semua rasa bersalahmu
Pergilah kau pergi dari hidupku
Bawalah rahasiamu yang tak ingin kutahui
Tak mau lagi aku terjerat
Pada semua janji-janjimu
Tak mau lagi aku terkait
Pada semua permainanmu
Bertahun-tahun bersama
Kupercayaimu, ku banggakan kamu
Kuberikan segalanya
Ku tak mau lagi




                                                                                                          Cerpenis
                                                                                               Anita Putri Kurnia Sari

                                                                                                          XII IPS I/06

Cerpen Cinta 1

Cinta yang Sempat Hilang
      
       Minggu, pukul delapan pagi. Hari yang selalu sama dimana aku berdiam diri di taman depan rumahku. Orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya melihatku dengan tatapan aneh. Mungkin mereka berfikir bahwa aku aneh karena tidak melakukan hal seperti mereka, yaitu jogging. Padahal aku setiap hari Minggu ada disini, tempat yang menurutku nyaman dan tempat dimana aku memikirkan sesuatu untuk menyelesaikan suatu masalah. Jam tanganku berbunyi, pukul sepuluh dan saatnya aku bersiap untuk check up ke dokter.
       “Aviana, jangan terlalu lama ya. Bantu Ibu memasak nanti.” Ibu membenarkan duduknya yang hanya kusambut dengan senyuman dan anggukan. Aku melajukan mobilku dengan hati-hati. Kepalaku terasa pening, tapi aku masih bisa melajukan mobilku dengan tenang. Sesampainya di tempat praktek dokter Tama. Ia memberiku senyuman dan mempersilahkanku untuk masuk ruangnya.
       “Beruntung saya masih bisa mengendalikan diri saya tadi, Dok.” Kataku sambil memegangi kepalaku.
       “Ada masalah apa lagi dengan kepalamu itu? Jangan bilang kamu lupa meminum obatnya. Asal kamu tau sekali saja kamu melupakan obat itu kamu harus mengulangi minumnya dari awal. Apa jam tanganmu tidak berfungsi sehingga kamu lupa?” dokter Tama selalu mengkhawatirkan keadaanku, tapi aku selalu diam jika dia mulai bercengkrama.
       “Sudahlah, Dok. Aku hanya lupa tidak meminumnya sekali saja. Jam tanganku selalu berfungsi tapi aku lupa membawanya.” Ia hanya menggelengkan kepala karena penyakitku yang selalu lupa terhadap sesuatu. Hingga ia pernah berkata “untung saja hidungmu tak tertinggal”. Aku memang seorang yang sangat ceroboh, tapi terkadang aku bisa menjadi orang yang sangat berhati-hati. Dokter Tama bilang jika aku hanya kurang istirahat saja. Setelah selesai, aku langsung mengemudikan mobilku kembali ke rumah.

•••
       Senin yang sangat melelahkan. Aku harus berangkat naik bus ke kampus, mobilku sedang diperbaiki ayah. Ditengah teriknya matahari, lalainya aku meninggalkan handphoneku di rumah. Betapa sangat pelupanya aku ini. “Sial banget.” Pekikku dalam hati.
       “Aviana.” Suara perempuan berteriak di belakangku. Siapa yang sedang iseng memanggilku ini. Aku menoleh ke belakang, tenyata ibuku. Aku mendekat kepadanya.
       “Ada apa, Ibu? Ibu kesini sama siapa?” Ibu merogoh tasnya, sambil mengeluarkan handphoneku.
       “Handphonemu tertinggal di meja makan, Nak. Ibu mau ada meeting, sekalian Ibu mampir ke kampusmu.”
       “Terimakasih, Bu.” Bisikku pada Ibu, sambil memeluknya. Lalu meninggalkan Ibu memasuki kampus dengan lambaian tangan. Aku berjalan menuju cafeteria. Jelita, sahabatku menungguku disana. Dia akan bercerita sesuatu kepadaku. Aku rela harus berangkat naik bus demi mendengarkan ceritanya, dia bilang jika dia sedang mengalami gegana yang dia artikan, gelisah galau dan merana. Aku menuju satu tempat favorit kita nongkrong. Wajah Jelita terlihat berantakan, kusut, jelek, gak seceria biasanya.
       “Wajah kok kucel gitu. Kan jelek kalau dilihat.” Sudah bisa diduga, Jelita langsung makan kentang di depannya dengan lahap seperti singa kelaparan. Badmood bisa membuat orang suka makan ternyata. Wajahku mengerut melihat tingkah Jelita. Setelah dia bisa mengontrol emosinya, dia bercerita apa yang dia akan ceritakan padaku. Semalam, dia jalan jalan ke alun-alun sendirian. Jelita melihat pacarnya sedang bermesraan  dengan cewek lain. Dia mengamati itu benar pacarnya atau bukan, semakin ia mendekat, ia yakin jika itu adalah pacarnya. Dia bersembunyi dibalik pohon besar, dia menelpon Dika, pacarnya itu. Jelita melihat dibalik pohon, Dika menjauh dari cewek yang barusan bermesraan dengannya itu. Dika mengangkat teleponnya, tapi dia bilang kalau dia sedang berada di rumah temannya mengerjakan tugas bersama. Jelita mendekat ke Dika, lalu Jelita memaki-maki Dika. Mereka bertengkar di depan cewek yang tadi bersama Dika. Cewek itu mendekat dan bertanya kepada Dika ada masalah apa, Jelita dengan emosinya memaki cewek itu langsung di depannya. Jelita yang sudah tidak sanggup membendung lagi air mata dan lukanya. Ia melontarkan kata putus pada Dika. Ia berlari kembali ke rumahnya.
       “Sudah, aku capek cerita lagi, aku capek nangis terus, gak tahu kenapa dia tega gitu sama aku.” Katanya sambil sesenggukan.
       “Biarkan dia seperti itu, kamu nggak usah membalasnya. Toh nanti juga ada yang membalas kan. Jangan dipikirkan lagi. Ayo kita refreshing saja. Kamu ada jam kuliah tidak?” jelita hanya menggelengkan kepalanya sambil meminum segelas green teanya.
       “Kamu punya janji mau mengajak aku ke Pantai Papuma yang lebih indah dari taman depan rumahku itu kan? Masih ingat?”
       “Oh iya ya. Ayo kita beragkat sekarang saja. Aku yakin kamu pasti suka. Sambil ngerefresh otakku ya. Butuh pencerahan nih.” Katanya sambil sedikit bersemangat. Jelita tidak akan bisa membawa suatu masalah hingga berlarut-larut, mungkin dalam waktu sehari ia bisa melupakannya. Sebetulnya sih aku ada jam kuliah sekarang, tapi aku memilih untuk menemani Jelita menenangkan pikirannya. Dia memberikan kunci mobilnya kepadaku, itu artinya aku harus mengemudikan mobilnya. Aku mengikuti langkahnya ke arah mobilnya di parkir. Jelita yang duduk di sebelah kemudi hanya menginstruksikan jalannya dan bermain game di i-pad nya. Sebelumnya kita mampir untuk membeli snack.
       Indah sekali pemandangan dan cuacanya disini. Banyak perahu berjejer di pinggir pantai. Pasirnya yang putih mempesona dengan hamparan batu-batu yang bila diterjang ombak saling terberai membalik. Disini biasanya dijadikan tempat untuk hunting foto oleh anak-anak SMA di kota Jember ini. Jelita mengeluarkan kamera DSLRnya dan menyuruhku berpose sesuka hatiku. Benar dugaanku, kalau berkutat pada fotografi, dia hampir selalu lupa dengan masalah yang dilandanya sekarang. Dia sudah menyunggingkan senyumnya dan bersikap sewajarnya. Dan yang pasti tidak terlihat seperti orang gegana.
       Dia mulai mengatur gayaku dan senyumku yang terkadang tidak begitu ikhlas kulakukan. Dia selalu memarahiku jika senyumku mulai tak ikhlas. Jam tanganku berbunyi, waktuku untuk minum obat. Jelita mengambilkanku minum di tasnya dan memberikannya padaku. Tak terasa matahari mulai menghilangkah cahayanya, aku mengajak Jelita untuk pulang karena khawatir Ibuku akan mencariku.
•••
       Aku merebahkan tubuhku setelah hampir seharian aku bersama Jelita. Aku mencari handphoneku di dalam tas, selembar kertas yang dilipat seperti amplop berwarna merah mengalihkan perhatianku. Aku merasa tidak pernah memasukkan kertas langsung di dalam tas, aku akan menaruhnya di mapku terlebih dahulu. Akan tetapi, siapa yang menaruhnya di dalam tasku itu? Aku mengambilnya dan membuka perlahan kertas itu, mulai membaca isinya dengan hati-hati.
       Maaf, aku mengganggumu, aku sengaja menyelipkan kertas ini di dalam tasmu karena aku tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk bertemu langsung denganmu. Aku ingin bertemu denganmu tiga hari setelah kamu berada di pantai Tanjung Papuma bersama temanmu itu. Dijam dan tempat yang sama. Percayalah padaku, aku tidak berniat jahat ataupun ingin menyakitimu. Aku mohon kamu tidak datang dengan temanmu, tetapi sendirian.
       DEG! Siapa yang mengirimiku surat itu? Dia tidak mencantumkan namanya, aku penasaran. Aku harus datang ke tempat itu tidak dengan sahabatku? Mana aku berani? Aku tidak terbiasa keluar tanpa teman, tapi aku akan mencobanya sendirian.

•••
       Hari ini aku harus bolos kuliah untuk menemui siapa sebenarnya orang itu. Jam menunjukkan pukul sebelas siang, aku harus berangkat sekarang supaya bisa santai di jalan. Aku berpamitan kepada ayah dan ibuku. Aku melajukan mobilku dengan kecepatan yang sangat pelan. Lagu yang bersenandung di dalam mobilku membawaku ke masa laluku yang memilukan. Aku teringat dimana aku sedang latihan di sanggar tiba-tiba Andro menelponku mengatakan bahwa ia akan pergi untuk melanjutkan studynya di Australia. Dia tidak mengatakan apa-apa sebelumnya, dia tidak pernah mengungkit tentang kelanjutan studynya, aku tidak bisa berkata, aku hanya mengucapkan selamat tinggal dan setelah itu aku tidak ingin berhubungan atau menerima pesan darinya. Bisa dikatakan hubunganku gantung selama tiga tahun ini, aku tidak pernah dekat dengan cowok manapun karena aku menganggap aku masih terikat dengannya walaupun aku tidak mau berhubungan dengannya.
       Pantai Tanjung Papuma, aku telah sampai disini, aku turun dari mobilku dan melangkahkan kakiku di dekat perahu yang berjejer rapi di sebelah pohon rindang. Sepuluh menit aku menunggu orang yang mengirimiku sebuah kertas itu, aku merasa menunggu seseorang yang telah lama aku kenal. Padahal si pemilik tulisan itu tidak mencantumkan namanya dalam surat itu. Seorang gadis berambut hitam pekat mendatangiku dan tersenyum penuh arti.
       “Kak Aviana ya? Kakak disuruh kesana.” Tunjuk gadis cantik itu ke rumah yang aku lihat tidak terlihat sosok orang disana. Aku mendekati rumah itu dan mengucapkan terimakasih kepadanya. Aku berdiri membelakangi rumah yang dimaksud gadis kecil itu. Aku merasa ada yang memandangiku dari belakang, aku menoleh. Aku mengamati wajahnya dan mendekat ke arahnya, aku mengenal sosok pria itu. Pria tampan dengan rambut hitam kecoklatan, mata yang teduh dan senyuman yang membuat wanita disekitarnya meleleh. Seseorang yang selalu membuatku tersenyum saat aku tidak ingin tersenyum. Aku melihat setiap detail wajahnya, tubuhnya, semua yang ada pada dirinya.
       Dia berjalan dan berdiri tepat di depanku, mata indahnya memandangku dengan penuh keteduhan. Bibir mungilnya memamerkan senyum yang seakan memikatku untuk terus bersamanya.
       “Sudah lama kita tidak bertemu, aku merindukan kebersamaan kita yang dulu, yang selalu hangat. Seandainya aku dulu tidak meninggalkanmu begitu saja saat keberangkatanku ke negeri orang. Aku tak mau membuatmu memikirkanku jika aku mengatakannya kepadamu lebih awal, aku tidak ingin menyakitimu na.” Suara lembut itu bicara lagi dihadapanku. Aku tak kuasa untuk menjawabnya, aku bungkam di hadapannya, aku mengutuk diriku yang seperti ini, aku tak akan pernah suka jika aku selalu diam dihadapannya.
       “Mungkin kamu belum bisa memaafkan apa yang telah aku lakukan terhadapmu tiga tahun yang lalu.” Hatiku tercengang mendengarnya, aku tak kuasa menahan amarahku yang bercampur dengan tangis. Aku tak yakin akan mengeluarkannya disini, aku rapuh melihatnya kembali ke kehidupanku.
       “Sudahkah kamu mengungkapkan apa yang kamu rasakan? Hanya itu sekarang yang ada dibenakmu yang ingin kau ungkapkan padaku?” tanyaku dengan hati yang bergetar.
       “Banyak yang ingin aku ungkapkan padamu, tapi tidak disini. Terlalu ramai dan terlalu bising untuk menyelesaikan apa yang aku rasakan mulai dari aku meninggalkanmu sampai akhirnya aku bisa kembali ke hadapanmu lagi.”
       “Mungkin lebih baik kita bicara di tempat lain, biarkan hati kita yang bicara satu sama lain, biarkan ego kita mengalir mengikuti arahnya. Setelah ego kita sama hilangnya, mungkin kita bisa bicara lebih baik dan yang pasti bukan sekarang waktu dan tempatnya. Boleh aku pulang sekarang?”
       “Dimana aku bisa menemuimu lagi? Bolehkah aku meminta nomormu yang bisa ku hubungi? Aku tinggal di rumahku yang dulu, tetap tidak berubah.” Aku memberinya selembar kartu namaku dan aku melangkah meninggalkannya yang hanya melihat punggungku semakin jauh darinya.
       Bisa-bisanya aku tidak bisa melakukan apa yang seharusnya kulakukan padanya. Apa aku terlalu lemah untuk melakukan sesuatu yang pantas dia dapatkan? Tanganku tak sanggup untuk memukulnya, bibirku tak sanggup untuk mencelanya, mataku tak sanggup melihatnya dengan tatapan tajam. Di dalam mobil pertahananku mulai hancur, aku tidak bisa mengondisikan diriku seperti biasa. Mataku mulai meneteskan air yang sudah lama aku tidak keluarkan untuk masalah yang sepele. Aku tidak akan menangis jika masalah itu tidak menyangkut ibuku. Sekarang ini bukan masalah ibu yang aku hadapi, masalahku sendiri dengan masalaluku. Aku belum bisa berdamai dengan masalaluku untuk sekarang ini.
       Aku mengemuikan mobilku sangat lamban seperti seekor siput yang berjalan. Pikiranku masih belum bisa berdamai dengan hatiku. Hatiku ingin sekali kembali padanya, memaafkanya, dan membuatnya seperti dulu. Namun, pikiranku menolak itu, ingin sekali aku melontarkan kata kasar di hadapannya, memakinya sepuas hatiku. Tak ada dayaku untuk melakukannya. Sesampainya di rumah, aku memilih untuk merebahkan diriku dan istirahat menenangkan pikiranku.

•••
       “Viana, ayo bangun. Ada tamu yang nyariin kamu.” Suara lembut ibu membangunkanku. Ibu tersenyum melihatku seperti anak kecil yang baru berumur sebelas tahun.
       “Mandi dulu biar cantik. Katanya mau ngajak kamu jalan-jalan.”. “Pagi-pagi udah ada yang bertamu di rumah. Siapa sih?” Aku melangkah ke kamar mandi.
       Aku mengenakan jeans kesukaanku dan kaos bergambar spongebob. Tidak lupa aku memakai cardigan yang selalu menemaniku. Lalu aku turun ke ruang tamu. Aku tercengang, ibu dan ayah sedang mengobrol dengan seorang cowok berbaju putih yang membelakangi arahku. Sejak kapan mereka mengijinkanku keluar dengan seorang laki-laki? Setelah mereka menyadari keberadaanku, mereka melihatku dan menyuruhku duduk disana. Oh ternyata Andro, masih ingat jalan rumahku rupanya.
       “Vi, kamu tidak pernah cerita kalau nak Andro ke Australia? Ayah kira kalian sedang bertengkar.” Perkataan ayah sungguh menusuk batinku. Aku hanya terdiam tak berani berbicara sepatah katapun.
       “Kita sarapan dulu ya? Ibu sudah masak sayur asam kesukaan Aviana.” Kata ibu mengajak kami sarapan, disertai anggukan ayah dan Andro. Aku mengikuti langkah mereka dengan gontai, kepalaku mulai pening. Selesai sarapan, aku mengambil obatku dan ku masukkan ke dalam tas. Andro berpamitan pada kedua orangtuaku, aku mencium pipi ibu dan ayahku. Selama dalam perjalanan, aku hanya diam, begitu juga Andro. Lagu kesukaanku mengalun di dalam mobilnya, nidji-bila aku jatuh cinta.
       Bila aku jatuh cinta
       Aku mendengar nyanyian
       Seribu dewa dewi cinta
       Menggema dunia

       Bila aku  jatuh cinta
       Aku melihat matahari
       Kan datang padaku
       Dan memelukku dengn sayang
       “Kita mau kemana?” tanyaku sekenanya pada Andro. Dia hanya menoleh ke arahku dan tersenyum simpul. Sungguh menyebalkan, batinku dalam hati. Setidaknya ia bisa menjawab dengan kata-kata bukan dengan senyuman saja. Aku berdiam sampai akhirnya Andro menghentikan mobilnya di sebuah taman yang penuh dengan bunga disekitarnya.
       Dia membukakan pintu mobil, dan menyuruhku turun mengikutinya. Andro duduk di salah satu bangku di sudut taman. Dia memberiku isyarat untuk duduk di sebelahnya. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Tapi aku tak memiliki nyali untuk mengatakannya. Akhirnya, dia yang memulai percakapan.
       “Kamu masih marah padaku?” tanyanya pelan.
       “Aku tidak marah, hanya saja sedikit kecewa. Kamu tidak pernah tau bagaimana rasanya aku memikirkanmu saat pertama kali kamu pergi. Aku seperti seorang anak yang ditinggalkan teman kecilnya begitu saja tanpa berpamitan. Aku terpuruk, aku sengaja tidak mengaktifkan kembali ponselku setelah kamu memberikan kabar yang sangat membuatku terkejut. Aku sangat menyayangimu, aku tidak sanggup untuk kehilanganmu. Aku tidak masuk kuliah selama satu minggu, ibu dan ayahku bingung melihat tingkahku, Jelita dihujani pertanyaan dan dia tak mampu menjawabnya karena aku belum sempat bercerita padanya. Setelah satu minggu, aku mulai menjalaninya seperti biasa, ada sesuatu yang hilang dihidupku. Aku membangun benteng yang sangat kuat agar aku tidak lagi mengeluarkan air mata di hadapan siapapun. Aku tidak pernah dekat dengan seorang lelaki setelah kejadian itu. Yang ada di pikiranku, seorang laki-laki semuanya jahat, kecuali ayahku.” Aku mulai berkaca-kaca, sambil melanjutkan kata-kataku. “Aku menutup diriku kepada semua orang, kecuali Jelita. Aku tidak sanggup berbagi cerita ini pada ibuku, setiap minggu dia menanyakan kabarmu, tapi hanya ku jawab sekenanya saja, tanpa memberitahunya jika kamu ke Australia. Setiap kali ibuku menanyakanmu, dengan susah payah aku membangun lagi bentengku yang mulai rapuh. Setelah aku melihatmu beberapa hari lalu, aku tak kuasa lagi membentengi hatiku, pertahananku hancur seketika itu. Aku menangis dalam perjalanan pulang.” Tangisku mulai pecah.
       “Aku tidak bermaksud menyakitimu, Vi. Aku tidak ingin kamu mengkhawatirkanku. Aku sangat sayang padamu, aku tak ingin kamu terlalu memikirkanku.”
       “Ta.. tapi caramu salah, Ndro. Bukan begitu caranya, kalau memang kamu sayang sama aku, gak mungkin kamu tega meninggalkanku dan hanya memberitahuku saat itu saja.”
       “Aku memang bodoh, Vi. Aku sudah meghubungimu saat aku sampai di Australi, tapi nomermu nggak pernah aktif. Aku sadar jika aku salah, aku sadar jika aku telah menyakitimu. Maafkan aku, Vi. Hanya kamu yang aku sayang tidak ada yang lain.” Aku menangis sesenggukan dan menutp mukaku.
       “A.. aku sudah memaafkanmu dari dulu. Tapi hatiku masih belum bisa menerimamu kembali, Ndro.”  Aku tau ini membohongi perasaanku sendiri, tapi mungkin lebih baik untuk kita saling menenangkan diri.
       “Aku ingin kita kembali seperti dulu. Kita yang selalu bersama apapun yang terjadi. Kita yang selalu tertawa dan bersedih bersama. Bukan yang sekarang, kita yang saling terdiam dalam angan kita sendiri-sendiri.”
       “Tapi ini bukan salahku, bukan aku yang pertama memulainya.”
       “Ini salahku, memang salahku. Kembalilah dalam hidupku, aku akan memperbaiki semuanya. Aku janji itu, Vi. Aku yakin kamu masih sayang sama aku, kamu nggak akan tega jika aku terbebani dengan pikiran ini. Aku mau kamu kembali, Vi.” Aku terdiam, bingung dengan hati dan pikiranku yang berbeda pendapat. Aku diam menahan tangisku, Andro berjongkok di depanku. Memegang kedua tanganku, dan menatap mataku. Matanya berbicara jika dia bersungguh-sungguh padaku. Aku tak kuasa untuk menolaknya. Aku menganggukkan kepalaku lemah.
       “Aku..  mau kembali seperti dulu.” Kataku dengan suara pelan setengah berbisik. Dia mengeluarkan kotak kecil berwarna merah.
       “Kamu mau selamanya menjadi bagian dari hidupku?” dibukanya kotak kecil itu, isinya cincin yang sangat indah. Aku menutup mulutku. Ini sama sekali tidak pernah aku duga sebelumnya. Aku tersenyum melihatnya, air mataku menitikkan kebahagiaanya. Aku memeluknya dengan rasa sayang dan aku sesenggukan di bahunya.
       “Terimakasih, Ndro.” Cincinnya dipasangkan di jari manisku. Dia yang aku idamkan, dia yang diberikan oleh Tuhan untukku. Terimakasih, Tuhan, Engkau telah memberikanku seseorang yang sangat menyayangiku dan bisa menerimaku apa adanya. Semoga cinta kita selalu dalam keridhoan-Mu.



                                                                                          Kepanjen, 6 November 2013
                                                                                                            Cerpenis

                                                                              (Ayu Kumala B. / 09)

                                                                                                            XII IPS 1

Cerpen Cinta

Semoga Takdir Menyatukan Kita
Pagi ini adalah awal dari perjalananku menempuh pendidikan formal di sekolah menengah atas di kotaku. Awalnya aku tak meyangka bisa bersekolah di sini dimana sekolah ini termasuk sekolah favorit dan sekolah ternama di kotaku. Bisa dibilang ini sebuah kebanggaan tersendiri, tetapi selain kebanggaan terdapat juga resiko dan beban yang harus dihadapi seperti tugas yang menumpuk dan ulangan yang berulang-ulang. Syukurlah, walaupun aku mempunyai tugas yang begitu banyak, aku selalu senang dan bersemangat untuk menyelesaikan karena aku juga mempunyai kelas yang begitu erat rasa kebersamaannya walaupun ada 1 atau 2 temanku yang cuek. Semangat belajarku bertambah besar ketika aku mempunyai kelompok belajar. Kelompok belajar inilah yang sering membantuku untuk menyelesaiakan tugas-tugas yang aku merasa kesulitan dalam tugas tersebut. Tak hanya itu, kami juga sering sharing tentang kehidupan kami. Kelompok belajar ini beranggotakan 9 termasuk aku, mereka adalah Liana, Ninda, Muti, Vita, Rini, Putri, Ana dan Ara. Diantara kedelapan temanku ini mereka mempunyai ciri khas masing masing, Liana, Muti, Vita dan Putri mereka mempunyai kesamaan yaitu suka banget ngemil dan wisata kuliner dan gak heran kalau tubuh mereka ya bisa di bilang agak gendut. Sedangkan Ninda, Rini, Ana dan Ara berbeda, mereka lucu karena mereka selalu menghibur kami dimana mereka tak kehabisan ide untuk melakukan itu.
            Setelah 3 bulan bersama mereka, aku merasakan kalau hidupku ini penuh warna. Untuk menjaga kebersamaan ini. Liana mengusulkan untuk memberi nama untuk kelompok belajar ini dan saat kami sedang sibuk mencari nama, tiba tiba ada seorang kakak kelas yang memerintahkan kami untuk segera menuju ke lapangan basket, karena seseorang tadi tak memberitahu alasan mengapa kami di suruh ke lapangan akhirnya mau tidak mau kami ke lapangan dengan rasa penasaran. Dan ketika tiba di lapangan basket, ternyata akan dilaksanakannya orasi calon ketua osis di sekolah ini. Tetapi kami semua tak tahu siapa saja calon dari ketua osis tersebut. Tak lama kemudian calon ketua osis itu masuk ke lapangan basket lewat gerbang sisi kanan, dari situlah aku merasakan sesuatu yang berbeda ketika melihat peserta calon ketua osis no 3.  Kakak calon ketua osis yang satu ini beda dengan yang lain mulai dari cara berjalan,  senyuman dan mimik wajah yang mempunyai kharisma tersendiri. Hati ini aneh, entah apa yang terjadi dengan diriku. Satu jam pun berlalu dan kini waktunya kakak itu berorasi. Nampaknya gemuruhpun terjadi mulai dari tribun sebelah barat, timur, utara hingga selatanpun semua bersorak sorak. Ketika kakak itu berorasi entah mengapa aku terpaku diam melihatnya berbicara dan senyumnya yang manis itu. Ingin sekali hati ini bisa mengenal sosok kakak kelas yang ramah itu, tetapi apa daya diriku. “Hey! Ngeliatin apaan sih, kok senyum senyum sendiri?” tegur Liana, “Oh,enggak kok” dengan sentak lamunanku pun hilang. “Aaaa, jangan jangan kamu suka  sama kakak itu ya? Ciyeee” , aku pun tersipu malu.
            Hari terus berlalu, dan semenjak itu ada perasaan yang mengganjal di hatiku setiap aku bertemu dengannya. Ketika aku hendak pergi ke kantin bersama Liana dan Ninda,tak sengaja aku melihat kakak itu dan dengan spontan aku langsung salah tingkah gak karuan, sehingga Liana dan Ninda curiga dengan tingkahku yang tiba tiba berubah. “Tuh kan, kamu beda kalau ngeliat kakak itu” sahut Liana, “Kakak siapa sih? Kakak Baim itu kah? ” tanya Ninda dengan nada keponya. “Emmb, enggak kok” jawabku dengan gugup, “Sudahlah, ngaku saja” sentil Liana. Aku pun tersipu malu dan aku berusaha lari menuju kelas meninggalkan mereka, tetapi aksiku gagal, tangan Ninda dengan spontan menarik  lenganku. “Kamu benar benar suka kak Baim yaa??” ucap Ninda dengan suara khasnya yang centil banget. Karena desakan mereka terus, akhirnya pun aku jujur sama mereka berdua. Spontan mereka pun tertawa dan menggodaku, “Ciyeeeeee, Visy”. Aku pun langsung menyubit mereka berdua. Dikelaspun mereka berdua langsung heboh dan semangat banget menceritakan kabar ini kepada teman-teman. Setiap kak Baim lewat di depan kelasku, kelasku  ini serasa pasar pagi yang selalu gaduh, bersorai-sorai dan selalu menggodaku. “Hafyuuuuh” keluhku. Aku hanya bisa diam tersipu malu.
Mungkin ini memang jalan takdirku
Mengagumi tanpa di cintai
Tak mengapa bagiku asal kau pun bahagia
Dengan hidupmu, dengan hidupmu

Telah lama kupendam perasaan itu
Menunggu hatimu menyambut diriku
Tak mengapa bagiku cintaimu pun adalah
Bahagia untukku, bahagia untukku

Ku ingin kau tahu diriku di sini menanti dirimu
Meski ku tunggu hingga ujung waktuku
Dan berharap rasa ini kan abadi untuk selamanya
Dan ijinkan aku memeluk dirimu kali ini saja
Tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya
Dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejab saja
           
Bel pulang terdengar kencang di areal kelasku, dan siang ini kami bersembilan ada rencana mengerjakan tugas bersama di rumah Ara. Setiba di rumah Ara, aku pun seperti tersangka yang di introgasi. Pertanyaan demi pertanyaan terlontar kepadaku dan pertanyaan itu semua menjurumus pada kejadian tadi di kantin sekolah. Dengan malu-malu aku pun bercerita semuanya. Dan ternyata salah satu dari kami ada yang ngefans sama teman sekelas dari kak Baim, ternyata Ana ngefans sama kak Jiz tetangga kompleks perumahannya. Mengerjakan tugaspun dimulai, di tengah-tengah kesibukan mengerjakan tugas, diam-diam Ana sms.an sama kak Baim. Dia menanyakan no hp kak Jiz dan ternyata dia beruntung banget bisa dapat no hp seseorang yang  dia fans. Dengan iseng aku pun mencoba memberanikan diri untuk mengambil alih hp Ana untuk mengirim pesan sms kepada kak Baim. Waktu semakin sore, kami harus pulang dan dengan terpaksa aku harus mengakhiri sms.an sama kak Baim.
            Keesokan harinya, aku menerima sms dari teman baik SMP ku yang sekarang satu sekolah sama aku dan ternyata dia juga satu kost sama kak Baim. Sebut saja Fikri, dia sms menanyakan tentang acara reuni akbar minggu depan yang kebetulan akan di adakan di SMP kami dulu minggu. Setelah cukup jelas tentang informasi itu, tiba-tiba topik pun berganti. “Dengar-dengar kamu suka sama kak Baim ya?” tanya Fikri, “Hah??” balasku. “Apa benar kamu suka sama kak Baim? Kalau iya, jujur aja deh gak papa kok! Kan kita best friend hehe”. Aku terkejut, “Eemmmb” balasku, “Ayo dong ngaku, aku kan teman baikmu”, dengan memberanikan diri, aku pun membalasnya “hehe, iya.. tapi jangan bilang sama kakaknya ya, pliiis” . “Oke beres bos.Tapi apa serius?” balasnya. “Terserah kamu ajah lah” balasku, “Just kidding Vis, aku percaya kamu kok, hehehe”. Topik sms an sore itu pun seputar kak Baim. Dia menggodaku  Seperti sahabat-sahabatku  yang suka menggodaku. Tepat pukul 07.07 ada pesan masuk yang nomernya  tak aku kenali. “Apa benar ini nomernya adek Visy?” , “Oh iya, benar. Ini siapa ya?”. “Ini aku kak Baim. Maaf ya, sebenarnya tadi yang sms pakek nomernya Fikri itu sebagian aku”. Serentak aku langsung gugup, bingung, senang, grogi campur aduk semua jadi satu. “Oh iya, gak papa kak.” Hanya kata-kata itu yang bisa aku balas. Hatiku serasa berbunga-bunga, “Mimpi apa aku semalem?” tanyaku pada diriku. Moment ini pun berlanjut, setiap sore dan malam sehabis belajar kak Baim selalu sms aku, dan dengan berjalannya waktu, grogiku dengan sendirinya mulai menghilang. Entah mengapa kami begitu akrab,terbuka satu sama lain.
            Waktu terus berjalan dan tak terasa sudah empat bulan kami berteman dan smsan tanpa henti. Dan tak terasa hubungan kami semakin dekat dan akrab, namun kami tak pernah bertatap muka langsung. Saat pembagian kartu pelajar oleh ketua kelasku, ternyata kartu pelajarku tidak ada dan tiba –tiba muncul sosok kakak kelas yang aku kenal dan ternyata itu kak Baim. Dia sengaja membawa kartu pelajarku dan memberikan secara pribadi kepadaku. Saat itu suasana kelas sangat gaduh, teman-teman sekelasku menggodaku. “Ciyee, ciyeee” kata kata itu acapkali di ucapkan oleh Ninda dan Vita. Dengan rasa malu aku pun langsung duduk ke bangkuku dan meninggalkan kak Baim, dia pun langsung pergi menuju kelasnya. Semakin lama, semakin dekat juga hubungan kami.”Sepertinya dia suka deh sama kamu, bukan suka ajah si, tapi juga cinta” kata Ara,  “Apa kamu udah jadian?” tanya Muti. “belum” jawabku, “padahal kan sudah lima bulan lebih? Gaya smsan kalian juga seperti orang pacaran!” sahut Putri, “ya mau gimana lagi, kak Baim gak boleh pacaran sama kakaknya”. “itu sama kakaknya kan? Bukan sama orang tuanya kan?” tanya Vita. “Kalau begini terus itu namanya kamu di gantungin sama kakak itu” sahut Liana, “Di gantungin gimana?” tanyaku dengan penuh tanda tanya, “Kalau dia deket sama cewek lain kamu gak berhak cemburu padanya, mau ngelarang-ngelarang apa-apa gak bisa, serba di batasin deh” jawab muti, “Ooo, gitu yaa??” jawabku dengan setengah tak mengerti.
            Sepulang sekolah, aku kefikiran apa yang di katakan Liana dan muti. “Benar juga sih” gumamku dalam hati. Malam itu bertepatan dengan malam minggu, aku bertekad menanyakan tentang kejelasan hubungan kami. “Aku bingung, dimana hatiku ingin memperjelas hubungan ini dengan menjadikanmu pacar aku,tetapi di sisi lain kakakku melarangku untuk berpacaran”, “Terus?” tanyaku, “Dijalani saja dulu, kalau memang waktunya pasti itu terwujud, tapi kalau enggak ya kita hanya sebatas teman atau kakak adik”.Itu balasan sms yang aku terima pada malam itu, spontan hatiku langsung datar, terbayang-bayang akan korban PHP seorang kakak kelas. Semenjak saat itu, kita berdua tak saling smsan, telefon, chatting hingga seminggu, di sekolahpun yang biasanya kami saling sapa, kali ini saling diam membisu. Di Jumat malam ini, tiba-tiba kak Baim mengirim pesan padaku “Assalamualaikum”, “Waalaikumsalam”,kami sempat berdebat sedikit waktu itu dan akhirnya ku menemukan pesan berisi “Bismillahirrohmanirrohim, semoga apa yang aku ucapkan ini merupakan awal dari perjalanan kita berdua, semoga awalnya indah dan berakhirnya juga indah.. Aku sayang kamu, apakah kamu mau menerima cintaku?”. Gak nyangka ternyata kak Baim so sweet banget. Dengan perasaan senang aku pun membalas “Amin, Insya Alloh iya.. makasih ya kak” .”sama-sama, sekarang kita udah resmi pacaran kan?”, “Iya dong, pacaran yang positif tentunya, hehe” balasku.
Akhirnya kumenemukanmu
Saat hati ini mulai merapuh
Akhirnya kumenemukanmu
Saat raga ini ingin berlabuh

Kuberharap engkaulah
Jawaban segala risau hatiku
Dan biarkan diriku
Mencintaimu hingga ujung usiaku
Jika nanti ku sanding dirimu
Miliki aku dengan segala kelemahanku
Dan bila nanti engkau disampingku
Jangan pernah letih tuk mencintaik, bintang hatiku

***
Satu tahun pun berlalu, hari ini dimana tepat hari anniversary ku dengannya yang ke satu tahun. Waktu malam datang, hpku berdering pertanda ada pesan masuk, pesan yang berisikan “Katanya setia, tapi mana buktinya?” ternyata itu dari kak Baim.Aku terkejut membaca itu, aku mencoba bertanya apa maksutnya serta menjelaskan semuanya bahwa aku tidak pernah menduakannya. Selama ini larangan berdekatan dengan cowok lain telah aku lakukan, “Ada apa ini? apa yang sebenarnya terjadi?” dalam hatiku bertanya. Perdebatan-perdebatan terjadi pada malam itu dan tak terasa air mata ini membasahi pipiku. Malam itu kak Baim mengajakku bertemu di keesokan harinya “Besok kita harus bertemu dan aku akan membawakan bukti-buktinya”, aku semakin bingung dengan semua ini, “Ya Rabb, ada apa ini sebenarnya” tanyaku dalam hati. Air mata berlinang hingga ku tertidur.
            Keesokan harinya kami bertemu di taman kota dekat tempat tinggal kak Baim. Dia marah-marah padaku dan di tengah kemarahannya ternyata dia mengucapkan “Happy anniversary 1st adek kecil, maaf ya tadi malem sudah bikin kamu menangis dan barusan sudah marah-marah ke kamu”, aku hanya terdiam menahan air mata yang semakin menumpuk di mataku. “Ini buat kamu dek, aku sayang kamu. Sekali lagi maaf  ya” ulasnya sambil memberikan setangkai mawar merah yang melambangkan cinta dan setangkai mawar putih yang melambangkan kasih sayang serta kue tart berbentuk love berhiaskan bunga warna biru dan pink. “Hmm, terimakasih banyak ya kak. Aku juga sayang kakak” jawabku.
            Tak terasa aku sudah kelas sebelas dan hari ini terakhir kalinya aku bertemu di sekolah karena besok  adalah hari prosesi wisuda kelas dua belas. “Besok terakhir kalinya kak Baim melihat kelas kamu, sebenarnya kakak berat banget meninggalkanmu seorang diri di sekolah, tetapi ini harus aku lakukan karena ini adalah jalan awal kak Baim menuju kesuksesan, jangan bersedih dan jangan lelah tuk menungguku, jika takdir menyatukan cinta kita, Insya Allah aku akan kembali padamu dengan kekuatan cinta dan kasih sayang yang besar dengan izin Allah .” aku hanya terdiam dan meneteskan air mata mendengar kata-kata itu.

                                                                                                            Kepanjen, 6 November 2013
                                                                                                                          Cerpenist


                                                                                                                  Vina Mutammima

Resensi Buku Parmin

Cinta, Pengorbanan dan Takdir

Judul             : Parmin                                                                                            Penulis          : Jujur Prananto
Penerbit        : Buku Kompas
Tahun terbit  : 2002
Cetakan        : Pertama
           
            Parmin merupakan salah satu kumpulan cerpen karya milik Jujur Prananto. Jujur Prananto adalah penulis yang selalu menggabungkan kisah nyata kehidupan manusia dengan dibumbui inspirasi-inspirasi di sekitarnya. Ia lahir di Salatiga, 30 Juni 1960. Selain menulis cerpen, ia juga pernah menulis beberapa skenario film di awal tahun 1990-an. Serial skenarionya mendapat predikat Best Teleplay pada FSI 1994.
            Kumpulan cerpen Parmin ini banyak yang terinspirasi dari kehidupan-kehidupan sekitar, seperti cerpen berjudul “Nasip Seorang Pendengar Setia”. Cerpen ini menceritakan tentang seorang pendengar yang harus selalu tertawa ketika mendengar bosnya menceritakan lelucon. Lelucon yang sebenarnya tidak lucu, tetapi ia harus tertawa hidup dibawah tekanan seperti ini membuat ia masuk rumah sakit dengan penyakit yang tidak bisa dideteksi oleh dokter.
            Cerpen “Nasip Seorang Pendengar Setia” merupakan contoh potret kehidupan nyata manusia yang dikaji dalam bentuk cerpen. Selain itu masih ada cerpen “Perjalanan Dua Pencari Alamat” yang menceritakan perjuangan seorang isteri yang mencari alamat tempat suaminya pergi merantau. Hanya berbekal secarik kertas berisi alamat, sang istri mencari sampai ratusan mil jauhnya. Harapannya meredup ketika tempat suaminya tinggal sudah terbakar satu tahun lalu dan sekarang dibangun menjadi rumah susun (rusun), sedangkan penghuninya yang dulu tidak diketahui keberadaannya sekarang. Tiga tahun kemudian, ada seorang anak mencari alamat sang ibu yang pergi merantau. Ternyata anak tersebut adalah anak dari si istri yang tidak kunjung pulang mencari alamat suami.
            Cerpen lainnya yaitu “Paduan Suara” yang menceritakan seorang pelatih vokal bernama Sugeng yang ditugaskan Gubernur untuk melatih grup vokal Pemda setempat. Penyesalannya karena menuruti semua perkataan Gubernur hanya karena kedudukan dan pangkatnya. Akhirnya usah selama berbulan-bulan sia-sia karena suara buruk milik anak Gubernur.
            Ada juga cerpen lain, seperti cerpen “Reuni” yang menceritakan tentang Kemal yang datang mengunjungi makam leluhurnya. Di tempat pemakaman tersebut ia bertemu seorang juru kunci yang tanpa diduga adalah saudara dari ibunya. Tidak lama kemudian, datang suami istri yang juga mengunjungi makam tersebut dan tidak diduga-duga, sepasang suami istri tersebut adalah saudara jauh Kemal. Mereka mempunyai anak yang ternyata adalah rekan kerja Kemal. Kejadian yang tidak disengaja itu membuat mereka semua tertawa.
            Dari sekian banyak contoh cerpen Parmin, banyak segi-segi kehidupan yang dapat dicontoh. Jujur Prananto dalam menulis karya-karyanya selalu menggunakan bahasa yang ringan, tidak berbelit-belit serta dapat dibaca oleh semua golongan umur. Selain itu topik dari cerpen-cerpen tersebut mudah dipahami. Sayangnya, cover buku ini tidak terlalu menarik minat pembaca. Selain itu gambar-gambar pada setiap cerpen tidak berwarna dan kurang jelas, sehingga pembaca merasa bosan. Namun tetap saja, buku ini dianjurkan untuk semua kalangan karena kandungan cerpen yang menarik.
                                                                                              
                                                                                Kepanjen, 27 September 2013
                                                                                                 Resensator
                                                                                          Ester Kristina Dewi