Thursday, August 28, 2014

Cerpen Cinta 1

Cinta yang Sempat Hilang
      
       Minggu, pukul delapan pagi. Hari yang selalu sama dimana aku berdiam diri di taman depan rumahku. Orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya melihatku dengan tatapan aneh. Mungkin mereka berfikir bahwa aku aneh karena tidak melakukan hal seperti mereka, yaitu jogging. Padahal aku setiap hari Minggu ada disini, tempat yang menurutku nyaman dan tempat dimana aku memikirkan sesuatu untuk menyelesaikan suatu masalah. Jam tanganku berbunyi, pukul sepuluh dan saatnya aku bersiap untuk check up ke dokter.
       “Aviana, jangan terlalu lama ya. Bantu Ibu memasak nanti.” Ibu membenarkan duduknya yang hanya kusambut dengan senyuman dan anggukan. Aku melajukan mobilku dengan hati-hati. Kepalaku terasa pening, tapi aku masih bisa melajukan mobilku dengan tenang. Sesampainya di tempat praktek dokter Tama. Ia memberiku senyuman dan mempersilahkanku untuk masuk ruangnya.
       “Beruntung saya masih bisa mengendalikan diri saya tadi, Dok.” Kataku sambil memegangi kepalaku.
       “Ada masalah apa lagi dengan kepalamu itu? Jangan bilang kamu lupa meminum obatnya. Asal kamu tau sekali saja kamu melupakan obat itu kamu harus mengulangi minumnya dari awal. Apa jam tanganmu tidak berfungsi sehingga kamu lupa?” dokter Tama selalu mengkhawatirkan keadaanku, tapi aku selalu diam jika dia mulai bercengkrama.
       “Sudahlah, Dok. Aku hanya lupa tidak meminumnya sekali saja. Jam tanganku selalu berfungsi tapi aku lupa membawanya.” Ia hanya menggelengkan kepala karena penyakitku yang selalu lupa terhadap sesuatu. Hingga ia pernah berkata “untung saja hidungmu tak tertinggal”. Aku memang seorang yang sangat ceroboh, tapi terkadang aku bisa menjadi orang yang sangat berhati-hati. Dokter Tama bilang jika aku hanya kurang istirahat saja. Setelah selesai, aku langsung mengemudikan mobilku kembali ke rumah.

•••
       Senin yang sangat melelahkan. Aku harus berangkat naik bus ke kampus, mobilku sedang diperbaiki ayah. Ditengah teriknya matahari, lalainya aku meninggalkan handphoneku di rumah. Betapa sangat pelupanya aku ini. “Sial banget.” Pekikku dalam hati.
       “Aviana.” Suara perempuan berteriak di belakangku. Siapa yang sedang iseng memanggilku ini. Aku menoleh ke belakang, tenyata ibuku. Aku mendekat kepadanya.
       “Ada apa, Ibu? Ibu kesini sama siapa?” Ibu merogoh tasnya, sambil mengeluarkan handphoneku.
       “Handphonemu tertinggal di meja makan, Nak. Ibu mau ada meeting, sekalian Ibu mampir ke kampusmu.”
       “Terimakasih, Bu.” Bisikku pada Ibu, sambil memeluknya. Lalu meninggalkan Ibu memasuki kampus dengan lambaian tangan. Aku berjalan menuju cafeteria. Jelita, sahabatku menungguku disana. Dia akan bercerita sesuatu kepadaku. Aku rela harus berangkat naik bus demi mendengarkan ceritanya, dia bilang jika dia sedang mengalami gegana yang dia artikan, gelisah galau dan merana. Aku menuju satu tempat favorit kita nongkrong. Wajah Jelita terlihat berantakan, kusut, jelek, gak seceria biasanya.
       “Wajah kok kucel gitu. Kan jelek kalau dilihat.” Sudah bisa diduga, Jelita langsung makan kentang di depannya dengan lahap seperti singa kelaparan. Badmood bisa membuat orang suka makan ternyata. Wajahku mengerut melihat tingkah Jelita. Setelah dia bisa mengontrol emosinya, dia bercerita apa yang dia akan ceritakan padaku. Semalam, dia jalan jalan ke alun-alun sendirian. Jelita melihat pacarnya sedang bermesraan  dengan cewek lain. Dia mengamati itu benar pacarnya atau bukan, semakin ia mendekat, ia yakin jika itu adalah pacarnya. Dia bersembunyi dibalik pohon besar, dia menelpon Dika, pacarnya itu. Jelita melihat dibalik pohon, Dika menjauh dari cewek yang barusan bermesraan dengannya itu. Dika mengangkat teleponnya, tapi dia bilang kalau dia sedang berada di rumah temannya mengerjakan tugas bersama. Jelita mendekat ke Dika, lalu Jelita memaki-maki Dika. Mereka bertengkar di depan cewek yang tadi bersama Dika. Cewek itu mendekat dan bertanya kepada Dika ada masalah apa, Jelita dengan emosinya memaki cewek itu langsung di depannya. Jelita yang sudah tidak sanggup membendung lagi air mata dan lukanya. Ia melontarkan kata putus pada Dika. Ia berlari kembali ke rumahnya.
       “Sudah, aku capek cerita lagi, aku capek nangis terus, gak tahu kenapa dia tega gitu sama aku.” Katanya sambil sesenggukan.
       “Biarkan dia seperti itu, kamu nggak usah membalasnya. Toh nanti juga ada yang membalas kan. Jangan dipikirkan lagi. Ayo kita refreshing saja. Kamu ada jam kuliah tidak?” jelita hanya menggelengkan kepalanya sambil meminum segelas green teanya.
       “Kamu punya janji mau mengajak aku ke Pantai Papuma yang lebih indah dari taman depan rumahku itu kan? Masih ingat?”
       “Oh iya ya. Ayo kita beragkat sekarang saja. Aku yakin kamu pasti suka. Sambil ngerefresh otakku ya. Butuh pencerahan nih.” Katanya sambil sedikit bersemangat. Jelita tidak akan bisa membawa suatu masalah hingga berlarut-larut, mungkin dalam waktu sehari ia bisa melupakannya. Sebetulnya sih aku ada jam kuliah sekarang, tapi aku memilih untuk menemani Jelita menenangkan pikirannya. Dia memberikan kunci mobilnya kepadaku, itu artinya aku harus mengemudikan mobilnya. Aku mengikuti langkahnya ke arah mobilnya di parkir. Jelita yang duduk di sebelah kemudi hanya menginstruksikan jalannya dan bermain game di i-pad nya. Sebelumnya kita mampir untuk membeli snack.
       Indah sekali pemandangan dan cuacanya disini. Banyak perahu berjejer di pinggir pantai. Pasirnya yang putih mempesona dengan hamparan batu-batu yang bila diterjang ombak saling terberai membalik. Disini biasanya dijadikan tempat untuk hunting foto oleh anak-anak SMA di kota Jember ini. Jelita mengeluarkan kamera DSLRnya dan menyuruhku berpose sesuka hatiku. Benar dugaanku, kalau berkutat pada fotografi, dia hampir selalu lupa dengan masalah yang dilandanya sekarang. Dia sudah menyunggingkan senyumnya dan bersikap sewajarnya. Dan yang pasti tidak terlihat seperti orang gegana.
       Dia mulai mengatur gayaku dan senyumku yang terkadang tidak begitu ikhlas kulakukan. Dia selalu memarahiku jika senyumku mulai tak ikhlas. Jam tanganku berbunyi, waktuku untuk minum obat. Jelita mengambilkanku minum di tasnya dan memberikannya padaku. Tak terasa matahari mulai menghilangkah cahayanya, aku mengajak Jelita untuk pulang karena khawatir Ibuku akan mencariku.
•••
       Aku merebahkan tubuhku setelah hampir seharian aku bersama Jelita. Aku mencari handphoneku di dalam tas, selembar kertas yang dilipat seperti amplop berwarna merah mengalihkan perhatianku. Aku merasa tidak pernah memasukkan kertas langsung di dalam tas, aku akan menaruhnya di mapku terlebih dahulu. Akan tetapi, siapa yang menaruhnya di dalam tasku itu? Aku mengambilnya dan membuka perlahan kertas itu, mulai membaca isinya dengan hati-hati.
       Maaf, aku mengganggumu, aku sengaja menyelipkan kertas ini di dalam tasmu karena aku tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk bertemu langsung denganmu. Aku ingin bertemu denganmu tiga hari setelah kamu berada di pantai Tanjung Papuma bersama temanmu itu. Dijam dan tempat yang sama. Percayalah padaku, aku tidak berniat jahat ataupun ingin menyakitimu. Aku mohon kamu tidak datang dengan temanmu, tetapi sendirian.
       DEG! Siapa yang mengirimiku surat itu? Dia tidak mencantumkan namanya, aku penasaran. Aku harus datang ke tempat itu tidak dengan sahabatku? Mana aku berani? Aku tidak terbiasa keluar tanpa teman, tapi aku akan mencobanya sendirian.

•••
       Hari ini aku harus bolos kuliah untuk menemui siapa sebenarnya orang itu. Jam menunjukkan pukul sebelas siang, aku harus berangkat sekarang supaya bisa santai di jalan. Aku berpamitan kepada ayah dan ibuku. Aku melajukan mobilku dengan kecepatan yang sangat pelan. Lagu yang bersenandung di dalam mobilku membawaku ke masa laluku yang memilukan. Aku teringat dimana aku sedang latihan di sanggar tiba-tiba Andro menelponku mengatakan bahwa ia akan pergi untuk melanjutkan studynya di Australia. Dia tidak mengatakan apa-apa sebelumnya, dia tidak pernah mengungkit tentang kelanjutan studynya, aku tidak bisa berkata, aku hanya mengucapkan selamat tinggal dan setelah itu aku tidak ingin berhubungan atau menerima pesan darinya. Bisa dikatakan hubunganku gantung selama tiga tahun ini, aku tidak pernah dekat dengan cowok manapun karena aku menganggap aku masih terikat dengannya walaupun aku tidak mau berhubungan dengannya.
       Pantai Tanjung Papuma, aku telah sampai disini, aku turun dari mobilku dan melangkahkan kakiku di dekat perahu yang berjejer rapi di sebelah pohon rindang. Sepuluh menit aku menunggu orang yang mengirimiku sebuah kertas itu, aku merasa menunggu seseorang yang telah lama aku kenal. Padahal si pemilik tulisan itu tidak mencantumkan namanya dalam surat itu. Seorang gadis berambut hitam pekat mendatangiku dan tersenyum penuh arti.
       “Kak Aviana ya? Kakak disuruh kesana.” Tunjuk gadis cantik itu ke rumah yang aku lihat tidak terlihat sosok orang disana. Aku mendekati rumah itu dan mengucapkan terimakasih kepadanya. Aku berdiri membelakangi rumah yang dimaksud gadis kecil itu. Aku merasa ada yang memandangiku dari belakang, aku menoleh. Aku mengamati wajahnya dan mendekat ke arahnya, aku mengenal sosok pria itu. Pria tampan dengan rambut hitam kecoklatan, mata yang teduh dan senyuman yang membuat wanita disekitarnya meleleh. Seseorang yang selalu membuatku tersenyum saat aku tidak ingin tersenyum. Aku melihat setiap detail wajahnya, tubuhnya, semua yang ada pada dirinya.
       Dia berjalan dan berdiri tepat di depanku, mata indahnya memandangku dengan penuh keteduhan. Bibir mungilnya memamerkan senyum yang seakan memikatku untuk terus bersamanya.
       “Sudah lama kita tidak bertemu, aku merindukan kebersamaan kita yang dulu, yang selalu hangat. Seandainya aku dulu tidak meninggalkanmu begitu saja saat keberangkatanku ke negeri orang. Aku tak mau membuatmu memikirkanku jika aku mengatakannya kepadamu lebih awal, aku tidak ingin menyakitimu na.” Suara lembut itu bicara lagi dihadapanku. Aku tak kuasa untuk menjawabnya, aku bungkam di hadapannya, aku mengutuk diriku yang seperti ini, aku tak akan pernah suka jika aku selalu diam dihadapannya.
       “Mungkin kamu belum bisa memaafkan apa yang telah aku lakukan terhadapmu tiga tahun yang lalu.” Hatiku tercengang mendengarnya, aku tak kuasa menahan amarahku yang bercampur dengan tangis. Aku tak yakin akan mengeluarkannya disini, aku rapuh melihatnya kembali ke kehidupanku.
       “Sudahkah kamu mengungkapkan apa yang kamu rasakan? Hanya itu sekarang yang ada dibenakmu yang ingin kau ungkapkan padaku?” tanyaku dengan hati yang bergetar.
       “Banyak yang ingin aku ungkapkan padamu, tapi tidak disini. Terlalu ramai dan terlalu bising untuk menyelesaikan apa yang aku rasakan mulai dari aku meninggalkanmu sampai akhirnya aku bisa kembali ke hadapanmu lagi.”
       “Mungkin lebih baik kita bicara di tempat lain, biarkan hati kita yang bicara satu sama lain, biarkan ego kita mengalir mengikuti arahnya. Setelah ego kita sama hilangnya, mungkin kita bisa bicara lebih baik dan yang pasti bukan sekarang waktu dan tempatnya. Boleh aku pulang sekarang?”
       “Dimana aku bisa menemuimu lagi? Bolehkah aku meminta nomormu yang bisa ku hubungi? Aku tinggal di rumahku yang dulu, tetap tidak berubah.” Aku memberinya selembar kartu namaku dan aku melangkah meninggalkannya yang hanya melihat punggungku semakin jauh darinya.
       Bisa-bisanya aku tidak bisa melakukan apa yang seharusnya kulakukan padanya. Apa aku terlalu lemah untuk melakukan sesuatu yang pantas dia dapatkan? Tanganku tak sanggup untuk memukulnya, bibirku tak sanggup untuk mencelanya, mataku tak sanggup melihatnya dengan tatapan tajam. Di dalam mobil pertahananku mulai hancur, aku tidak bisa mengondisikan diriku seperti biasa. Mataku mulai meneteskan air yang sudah lama aku tidak keluarkan untuk masalah yang sepele. Aku tidak akan menangis jika masalah itu tidak menyangkut ibuku. Sekarang ini bukan masalah ibu yang aku hadapi, masalahku sendiri dengan masalaluku. Aku belum bisa berdamai dengan masalaluku untuk sekarang ini.
       Aku mengemuikan mobilku sangat lamban seperti seekor siput yang berjalan. Pikiranku masih belum bisa berdamai dengan hatiku. Hatiku ingin sekali kembali padanya, memaafkanya, dan membuatnya seperti dulu. Namun, pikiranku menolak itu, ingin sekali aku melontarkan kata kasar di hadapannya, memakinya sepuas hatiku. Tak ada dayaku untuk melakukannya. Sesampainya di rumah, aku memilih untuk merebahkan diriku dan istirahat menenangkan pikiranku.

•••
       “Viana, ayo bangun. Ada tamu yang nyariin kamu.” Suara lembut ibu membangunkanku. Ibu tersenyum melihatku seperti anak kecil yang baru berumur sebelas tahun.
       “Mandi dulu biar cantik. Katanya mau ngajak kamu jalan-jalan.”. “Pagi-pagi udah ada yang bertamu di rumah. Siapa sih?” Aku melangkah ke kamar mandi.
       Aku mengenakan jeans kesukaanku dan kaos bergambar spongebob. Tidak lupa aku memakai cardigan yang selalu menemaniku. Lalu aku turun ke ruang tamu. Aku tercengang, ibu dan ayah sedang mengobrol dengan seorang cowok berbaju putih yang membelakangi arahku. Sejak kapan mereka mengijinkanku keluar dengan seorang laki-laki? Setelah mereka menyadari keberadaanku, mereka melihatku dan menyuruhku duduk disana. Oh ternyata Andro, masih ingat jalan rumahku rupanya.
       “Vi, kamu tidak pernah cerita kalau nak Andro ke Australia? Ayah kira kalian sedang bertengkar.” Perkataan ayah sungguh menusuk batinku. Aku hanya terdiam tak berani berbicara sepatah katapun.
       “Kita sarapan dulu ya? Ibu sudah masak sayur asam kesukaan Aviana.” Kata ibu mengajak kami sarapan, disertai anggukan ayah dan Andro. Aku mengikuti langkah mereka dengan gontai, kepalaku mulai pening. Selesai sarapan, aku mengambil obatku dan ku masukkan ke dalam tas. Andro berpamitan pada kedua orangtuaku, aku mencium pipi ibu dan ayahku. Selama dalam perjalanan, aku hanya diam, begitu juga Andro. Lagu kesukaanku mengalun di dalam mobilnya, nidji-bila aku jatuh cinta.
       Bila aku jatuh cinta
       Aku mendengar nyanyian
       Seribu dewa dewi cinta
       Menggema dunia

       Bila aku  jatuh cinta
       Aku melihat matahari
       Kan datang padaku
       Dan memelukku dengn sayang
       “Kita mau kemana?” tanyaku sekenanya pada Andro. Dia hanya menoleh ke arahku dan tersenyum simpul. Sungguh menyebalkan, batinku dalam hati. Setidaknya ia bisa menjawab dengan kata-kata bukan dengan senyuman saja. Aku berdiam sampai akhirnya Andro menghentikan mobilnya di sebuah taman yang penuh dengan bunga disekitarnya.
       Dia membukakan pintu mobil, dan menyuruhku turun mengikutinya. Andro duduk di salah satu bangku di sudut taman. Dia memberiku isyarat untuk duduk di sebelahnya. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Tapi aku tak memiliki nyali untuk mengatakannya. Akhirnya, dia yang memulai percakapan.
       “Kamu masih marah padaku?” tanyanya pelan.
       “Aku tidak marah, hanya saja sedikit kecewa. Kamu tidak pernah tau bagaimana rasanya aku memikirkanmu saat pertama kali kamu pergi. Aku seperti seorang anak yang ditinggalkan teman kecilnya begitu saja tanpa berpamitan. Aku terpuruk, aku sengaja tidak mengaktifkan kembali ponselku setelah kamu memberikan kabar yang sangat membuatku terkejut. Aku sangat menyayangimu, aku tidak sanggup untuk kehilanganmu. Aku tidak masuk kuliah selama satu minggu, ibu dan ayahku bingung melihat tingkahku, Jelita dihujani pertanyaan dan dia tak mampu menjawabnya karena aku belum sempat bercerita padanya. Setelah satu minggu, aku mulai menjalaninya seperti biasa, ada sesuatu yang hilang dihidupku. Aku membangun benteng yang sangat kuat agar aku tidak lagi mengeluarkan air mata di hadapan siapapun. Aku tidak pernah dekat dengan seorang lelaki setelah kejadian itu. Yang ada di pikiranku, seorang laki-laki semuanya jahat, kecuali ayahku.” Aku mulai berkaca-kaca, sambil melanjutkan kata-kataku. “Aku menutup diriku kepada semua orang, kecuali Jelita. Aku tidak sanggup berbagi cerita ini pada ibuku, setiap minggu dia menanyakan kabarmu, tapi hanya ku jawab sekenanya saja, tanpa memberitahunya jika kamu ke Australia. Setiap kali ibuku menanyakanmu, dengan susah payah aku membangun lagi bentengku yang mulai rapuh. Setelah aku melihatmu beberapa hari lalu, aku tak kuasa lagi membentengi hatiku, pertahananku hancur seketika itu. Aku menangis dalam perjalanan pulang.” Tangisku mulai pecah.
       “Aku tidak bermaksud menyakitimu, Vi. Aku tidak ingin kamu mengkhawatirkanku. Aku sangat sayang padamu, aku tak ingin kamu terlalu memikirkanku.”
       “Ta.. tapi caramu salah, Ndro. Bukan begitu caranya, kalau memang kamu sayang sama aku, gak mungkin kamu tega meninggalkanku dan hanya memberitahuku saat itu saja.”
       “Aku memang bodoh, Vi. Aku sudah meghubungimu saat aku sampai di Australi, tapi nomermu nggak pernah aktif. Aku sadar jika aku salah, aku sadar jika aku telah menyakitimu. Maafkan aku, Vi. Hanya kamu yang aku sayang tidak ada yang lain.” Aku menangis sesenggukan dan menutp mukaku.
       “A.. aku sudah memaafkanmu dari dulu. Tapi hatiku masih belum bisa menerimamu kembali, Ndro.”  Aku tau ini membohongi perasaanku sendiri, tapi mungkin lebih baik untuk kita saling menenangkan diri.
       “Aku ingin kita kembali seperti dulu. Kita yang selalu bersama apapun yang terjadi. Kita yang selalu tertawa dan bersedih bersama. Bukan yang sekarang, kita yang saling terdiam dalam angan kita sendiri-sendiri.”
       “Tapi ini bukan salahku, bukan aku yang pertama memulainya.”
       “Ini salahku, memang salahku. Kembalilah dalam hidupku, aku akan memperbaiki semuanya. Aku janji itu, Vi. Aku yakin kamu masih sayang sama aku, kamu nggak akan tega jika aku terbebani dengan pikiran ini. Aku mau kamu kembali, Vi.” Aku terdiam, bingung dengan hati dan pikiranku yang berbeda pendapat. Aku diam menahan tangisku, Andro berjongkok di depanku. Memegang kedua tanganku, dan menatap mataku. Matanya berbicara jika dia bersungguh-sungguh padaku. Aku tak kuasa untuk menolaknya. Aku menganggukkan kepalaku lemah.
       “Aku..  mau kembali seperti dulu.” Kataku dengan suara pelan setengah berbisik. Dia mengeluarkan kotak kecil berwarna merah.
       “Kamu mau selamanya menjadi bagian dari hidupku?” dibukanya kotak kecil itu, isinya cincin yang sangat indah. Aku menutup mulutku. Ini sama sekali tidak pernah aku duga sebelumnya. Aku tersenyum melihatnya, air mataku menitikkan kebahagiaanya. Aku memeluknya dengan rasa sayang dan aku sesenggukan di bahunya.
       “Terimakasih, Ndro.” Cincinnya dipasangkan di jari manisku. Dia yang aku idamkan, dia yang diberikan oleh Tuhan untukku. Terimakasih, Tuhan, Engkau telah memberikanku seseorang yang sangat menyayangiku dan bisa menerimaku apa adanya. Semoga cinta kita selalu dalam keridhoan-Mu.



                                                                                          Kepanjen, 6 November 2013
                                                                                                            Cerpenis

                                                                              (Ayu Kumala B. / 09)

                                                                                                            XII IPS 1

No comments:

Post a Comment